61. SELESAI?

8K 937 343
                                    

"Ternyata saya masih kuat seperti dulu, buktinya cambukan kamu mampu bikin tubuh kaku yang dulu saya tutupi kini bangkit," ujar Ryan menyeringai.

Morlan menghentikan langkahnya. Laki-laki itu tampak agak sedikit was-was, pasalnya Ryan selalu santai dan tak merasa takut pada ancamannya.

"Kenapa? Kamu takut sama saya?" tanya Ryan.

"Tidak pernah dan tidak akan!" balas Morlan.

"Kamu mau cambuk saya lagi?" tanya Ryan. Pria itu tersenyum lebar dengan darah menetes di ujung sudut bibirnya. "Silahkan, bikin saya puas karena saya lama tidak merasakan sensasi sakit itu!"

"Ternyata benar, bukan saya yang psikopat, tapi Anda sendiri!"

Satu cambukan mengenai punggung Ryan kembali. Ryan tersenyum lebar di iringi dengan ringisan. "Menurut kamu apa?"

"Saya tidak peduli!"

"Saya juga tidak peduli kamu mau membunuh saya," balas Ryan santai.

Morlan menggeram. Laki-laki itu tampak kehabisan kesabarannya. Ia mengambil pisau kecil dari sakunya lalu melirik sekilas pada Gamma. Gamma pucat pasi, hal itu membuat Morlan tersenyum tipis.

"Lo cuma liat, jadi penonton gratis!"

"Lo gila!" balas Gamma.

"Dia lebih gila," tunjuk Morlan melirik Ryan.

"Saya tidak gila, tapi memang itu hasrat saya, kesakitan." Ryan membalas kembali.

Morlan maju, lalu memegang lengan Ryan yang tergantung itu. Ia gesekkan pisau itu dengan perlahan ke lengan pria itu. Gamma memejamkan mata ketika melihat darah itu mulai menetes.

Ryan tampak meringis, hal itu membuat Morlan puas. "Masih mau?"

Ryan terkekeh. "Silahkan."

Morlan menggeram lalu dengan kesal ia gesek sekali lagi agak cepat membentuk garis lurus. Darah segar menetes di sepatunya.

Fika datang dengan suasana canggung. "Morlan," panggilnya kecil.

"Dimana Ara?" tanya Morlan to the point.

Fika menggeleng. "Belum ada tanda-tanda dia sampe."

"Sial!" umpat Morlan keras. "Kalau begini, bisa-bisa gue gak tahan pengen cepet-cepet bunuh psikopat itu!"

"Psikopat?"

"Dia berbahaya dari yang kita duga," jawab Morlan.

Fika terkesiap mendengarnya. "Gimana bisa gitu?"

"Yang pasti, dia kebal cambukan. Buktinya dia bertahan sampai sekarang. Dan gue baru sadar itu kalau gue banyak cambuk dia, tapi dia malah masih hidup!"

*****

"Sepi," gumam Ara kecil. Ara melangkah pelan memasuki gedung kosong itu. Suasana malam membuatnya sedikit kedinginan, di tambah hujan yang mau turun karena cuacanya buruk.

"Sial! Ngapain sekarang sih sakitnya!" bentak Ara sendiri. Cewek itu tampak lebih marah karena suasana ini.

Ara masuk pelan. Saat di depan pintu, ponselnya berdering. Ia melihat nama yang tertera di sana. Ternyata beberapa jam tadi ada panggilan tak terjawab dari Aksa, dan Kejora.

Telpon nya berdering kembali. Kali ini nama dokter Juan tertera di sana. Ara lupa, jika sekarang ini adalah jadwal dirinya cuci darah. Dan itu harus di lakukan karena kondisinya lemah. Di tambah jadwal kemarin ia tak ke rumah sakit itu.

Ia memberikan pesan pada Aksa untuk segera cepat mengambil bukti tentang Atika.

"Persetan sama jadwal! Yang penting sekarang ini gue mau akhirin semua masalahnya," desis Ara lalu berlari menaiki anak tangga.

STARLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang