****
Seharusnya, saat itu aku tidak jatuh sedalam itu dan pada akhirnya merasakan perasaan yang semakin meremukan hati.
****Auristela terus saja merutuki dirinya sendiri kali ini. Bagaimana tidak, ia tidak sengaja menekan tombol panggilan pada kontak Jordi. Dikarenakan, ia ragu apakah ia akan meminta pria itu untuk mengambil lapor mikiknya esok hari. Entah mengapa rasanya ia sangat ingin Ayahnya itu mengambilkan lapor miliknya kali ini.
Harapan itu seketika hancur kala sebuah pesan masuk pada handphonenya.
Papa
Jangan ganggu saya, saya sedang sibuk.
Seperti itulah pesan yang tertera disana. Auristela tersenyum miris akan itu. Ia sudah dapat menebak bahwa penolakan akan terlontarkan lagi jika itu berurusan dengannya.
"Lo sadar dong, besok dia bakal ambil lapor punya anaknya. Bego banget sih lo." Auristela berbicara pada dirinya sendiri.
Auristela merebahkan dirinya ada kasur dan menatap langit-langit atap kamarnya. Menerawang jauh saat ia tinggal dirumah milik Papanya itu. Saat segala hal yang diutamakan adalah kesenangan Karen. Segela prestasi Karen terus dibanggakan namun tidak dengan Auristela.
Jika bisa, Auristela hanya ingin sekali saja mendapatkan kata-kata pujian atau kata-kata bangga dari sang Ayah. Lagi-lagi, semua itu hanya harapan yang sangat tidak mungkin untuk terjadi. Semua hanya angan-angan yang akan terus menjadi bayangan.
Menghela nafas panjang Auristela berdiri dan berjalan menuju ruang tengah apartemennya. Ditatapanya keadaan rumah yang menjadi tempatnya berlindung itu. Lalu bergegas menuju dapur untuk mengambil beberapa cemilan.
Langkahnya terhenti, suara ketukan mengejutkan dirinya. Dengan langkah cepat Auristela berjalan kearah pintu dan sedikit mengintip lewat jendela.
Pupil mata Auristela membesar saat melihat siapa yang ada disana. Membuka pintu dan membopong tubuh yang terlihat bagai tidak memiliki cukup tenaga untuk berdiri sendiri.
"Lo duduk disini dulu, gue ambil kotak p3k." ujar Auristela dan hendak mengayunkan langkah namun tertahan.
"Disini sebentar, gue butuh lo."
"Tapi Ndu, lo harus diobatin dulu." tangan Auristela ditarik kuat oleh Randu hingga duduk tepat disamping laki-laki itu. Menyenderkan kepalanya pada pundak Auristela dengan tangan yang terus menggenggam erat telapak tangan gadis itu.
"Bentar aja." Auristela pasrah, walau ada rasa yang tidak dapat ia deskripsikan.
"Lo gak benci sama gue kan Auristela?" pertanyaan Randu sontak membuat Auristela terdiam.
"Gue gak bakal bisa tahan diri gue kalo sampe lo jauh dari gue." lanjutnya, degup jantung Auristela kini tidak baik-baik saja.
"Gak usah ngada-ngada Ndu, lo gak seharusnya bilang itu ke gue."
"Tapi gue serius, gue.." perkataan Randu tidak terlanjut dikarenaka Auristela yang langsung berdiri tanpa aba-aba.
"Gue ambil p3k dulu, sekarang udah malem. Gak baik cowok dirumah cewek kaya gini." dengan langkah cepat Auristela beranjak dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Sampai didalam kamar, Auristela terhenti dan menaruh tangan pada dadanya. Merasakan bagaimana tempo detakan jantung yang hampir menggila. Menarik dan menghembuskan nafas menenangkan diri. Rasanya ia ingin menapik harapan yang hampir terujar dari bibir Randu.
Ketika turun, pemandangan yang dapat Auristela lihat adalah Randu yang dalam keadaan berbaring dengan mata terpejam. Semakin mendekat kearah laki-laki itu Auristela memperhatikan wajah itu dengan seksama. Mengingat kali pertama ia melihat wajah itu. Ya, saat itu. Bukan saat ia yang melihat Randu saat di lapangan basket yang diklaim oleh Karen bahwa ia juga melihat Randu pada saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURISTELA (SELESAI)
Fiksi Remaja[REVISI] Mungkin tersenyum adalah hal tersulit yang tidak dapat dilakukan oleh seorang Auristela Chalondra. Tapi bagaimana jika takdir dengan senangnya mempermainkan perasaan Auristela. Membuatnya dapat tersenyum juga terluka secara bersamaan. Aur...