🕙Chapter 67 : Luapan Emosi🕙

862 72 8
                                    

Emosi itu bagaikan latte. Kopi sebagai kesabaran kita, susu sebagai pemicunya, dan kita sebagai cangkirnya. Ketika susu yang tertuang terlalu banyak, maka semua akan meluap dari wadahnya.
.
.

👻 👻 👻

"Nara..." gumam Jeon lirih. Sangat lirih.

"Hei pecundang!!" teriak Nara. Ia tak peduli walaupun setelahnya ia akan menjadi pusat perhatian orang orang di sini.

Jarak Nara dan Jeon kini hanya terkikis sekitar 4 meter saja. Keduanya saling menatap dalam mata masing masing. Tersirat kesal, kecewa, sedih, bahagia, rindu semua tercampur menjadi satu. Sungguh perasaan yang campur aduk.

"Lo mau pergi, huh? Setelah apa yang udah gue perjuangin selama ini dan lo milih pergi begitu aja?" tanya Nara dengan mulut bergetar sembari berjalan perlahan ke arah Jeon yang masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Ternyata lo masih sama, ya?" tanya Nara pelan. "Nggak bisa menghargai usaha orang lain." lanjut Nara dengan menekankan setiap katanya.

"Gue sabar nungguin lo, Je. Gue sabar nungguin lo inget semuanya. 5 tahun gue jaga hati gue. Buat siapa? Elo!" tuding Nara tepat di depan wajah Jeon. "Gue sabar, walaupun hati gue teriris berkali kali karena lo. Karena gue tau dan gue yakin, lo nggak bakal gitu kalo lo udah inget semuanya."

Air mata Nara kembali menetes.

"Gue berjuang buat lo, sabar nunggu lo. Gue nggak pernah menyerah sekali pun selama ini walaupun diri gue sendiri lelah. Tapi kenapa orang yang gue perjuangin malah nyerah?" tanya Nara dingin.

" 'Ikhlas' lo bilang? Yang sepantasnya bilang itu, itu gue. Gue yang ikhlas. Apa gue terlalu ikhlas sama keadaan, huh?" tanya Nara lagi. Ia tidak peduli lagi, ia tak habis pikir dengan orang yang ada di hadapannya kini. Orang yang sebegitu gampangnya menyerah atas apa yang sudah di perjuangan selama ini. Mudah sekali dia berbicara?

"Lo pengen gue bahagia?" tanya Nara penuh penekanan. "Iya, gue pengen bahagia! Kalo gue nggak pengen bahagia, buat apa gue rela nungguin lo bertahun tahun tanpa kepastian?!" kata Nara frustrasi dan menangis. Ia pun menarik napasnya dengan sesenggukan.

Dada Jeon sakit melihat Nara sampai seperti ini. Ia berusaha meraih tangan Nara namun dengan cepat Nara menepisnya.

"Ra..."

"Lo tau rasanya? Ketika gue udah merasa punya sandaran. Ketika gue udah nyaman dengan sandaran itu. Ketika gue berusaha buat menegakkan sandaran yang sempat roboh itu, tapi sandaran itu malah memilih untuk pergi. Sesia siakah itu hidup gue?" tanya Nara lirih.
"Sesia siakah itu hidup gue, berjuang untuk sebuah cinta monyet lo??!"

Mata Jeon yang sudah memanas sedari tadi, akhirnya meneteskan airnya. Sakit dan sesak mendominasi hati dan perasaannya kini. Mendengar penuturan penuturan Nara, membuat hati Jeon seakan akan tengah dilempari belati.

"Pecundang, brengsek." sarkas Nara dingin. "Lo nggak tau apa apa soal gue yang sekarang, kan?"

"Nara... Maaf..." panggil Jeon lirih.

"Atau lo emang nggak mau tau gue yang sekarang? Lo emang nggak berniat buat ketemu gue, kan? Gue tau, bagi lo gue itu cuma sekedar orang yang pernah bantuin lo. Udah itu aja, kan?" mendengar itu Jeon sontak melebarkan matanya dan menggeleng.

Tidak!

Tidak sama sekali. Jeon tak pernah berpikir seperti itu terhadap Nara. Ia sangat mencintai Nara dan ia bahkan tak mau kehilangannya.

Tapi satu kesalahan Jeon. Ia salah dalam mengambil langkah saat kembali mengejar orang yang amat berharga dihidupnya.

Tangannya berusaha kembali menggapai tangan Nara namun Nara malah memundurkan tubuhnya dari itu.

LATENT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang