Pencet vote dulu ya brow!
Follow instagram :
@cutajafbryntari
@wattpadmums
@ragapramudhitaa
@jiwabirdellaa
@aksa.laksmana
@bryan.adinata
@ubayrajana***
"Ngapain Papa disini?" Tentu saja pertanyaan itu yang muncul dari Raga. Sebab Raga bingung kenapa Ayahnya bisa ada di sekolahnya? Jarang sekali Baron mau datang. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas sekarang, saat Raga dihukum oleh guru bahkan Baron tak mau datang untuk memenuhi panggilan pihak sekolah.
"Duduk dulu." Baron menepuk kursi disebelahnya.
Sesuai perintah, Raga duduk tepat di samping sang Ayah. Keduanya sedang berada di kantin sekolah Pramudhita. Tidak begitu ramai karena semua murid dan guru tengah berada di kelas karena sedang jam pelajaran.
Kedua tangan Baron terpaut dan menompang dagunya dengan raut wajah serius menatap lurus. Baron menghela napas berat sebelum akhirnya bersuara. "Berapa banyak lagi Papa harus dapat ini?" Baron mencampak kasar kertas panjang yang terbalut amplop berwarna cokelat. Dari banyaknya jumlah amplop itu bisa diperkirakan mungkin lebih puluhan.
"Bandel kamu itu udah kelewatan. Papa bebasin kamu bergaul sama siapa aja bukan berarti kamu jadi seenaknya kayak gini. Jadi salah jalan kamu!" Bentak Baron namun masih terdengar pelan berusaha menahan emosinya.
Raga menatap tumpukan amplop cokelat dengan malas. "Amplop udah puluhan tapi baru sekali datang." Gumamnya.
"Jawab Papa! Apa Papa pernah ajarin kamu bandel? Apa Papa pernah ajarin kamu bolos? Tawuran? Geng-geng gak jelas?" Baron masih bisa mengontrol emosi serta nada suaranya. Ia tak mau membuat Raga malu.
Raga malas sekali sebenarnya kalau sudah membahas ini. Raga membuang pandangannya ke depan. Muak menatap tumpukan amplop yang selalu ia dapatkan. Kertas peringatan berbalut amplop cokelat itu selalu Raga dapatkan dari pihak guru karena kesalahan yang ia perbuat sendiri. Seperti bolos jam pelajaran, terlambat, ketahuan merokok di WC atau di markas Nakopra dan juga ketahuan berkelahi dengan murid sekolah Kasih Mulia atau geng Vagakas.
Walau begitu, Baron tidak pernah mau peduli tentang itu. Padahal Riana sang istri sudah lelah menyuruh suaminya untuk peduli sedikit saja tentang anaknya, yaitu Raga. Baron menganggap itu semua hanya kenakalan remaja yang biasa terjadi. Selagi Raga tak kelewat batas saja. Alasan lainnya karena Baron sibuk dengan pekerjaannya jadi tak punya waktu mengurus Raga.
"Papa memang gak pernah ajarin Raga nakal. Ini semua emang salahnya di Raga." Raga berucap serius.
"Kamu tau dari dulu Papa gak pernah mau ikut campur urusan kenakalan kamu. Papa bebasin kamu bergaul sama teman-teman yang kamu sebut NAKOPRA itu. Karena Papa percaya sama kamu, kamu gak akan mengecewakan kepercayaan Papa. Tapi apa? Ternyata kamu sudah kelewat batas." Baron tersenyum kecut. Mengingat ia sudah gagal mendidik anaknya.
"Kamu sampai menghamili Jiwa. Papa gak percaya kamu sampai senakal itu Raga." Kini suara Baron terdengar lirih seperti bisikan penyesalan.
Raga menoleh pada sang Ayah. Perasaan tak enak pun muncul dihatinya. "Raga ngaku salah dengan kelakuan Raga yang itu. Tapi bukan berarti Papa udah gagal didik Raga. Ini murni kesalahan Raga." Raga tersenyum tipis. Matanya menerawang keatas.
"Papa sibuk dengan kegiatan Papa. Papa sibuk kerja, Papa sibuk syuting sana sini. Papa gak pernah ada waktu buat Raga sama Mama. Papa seharusnya juga tau, letak kesalahan permasalahan ini dimana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA DAN RAGA
Teen Fiction❝𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐝𝐮𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐩𝐚𝐤𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐚𝐭𝐮.❞ Raga Pramudhita, dikenal sebagai ketua komplotan NAKOPRA paling dihindari dan disegani. Nakal, kejam, susah diatur dan pergaulan bebas sudah melekat padanya...