Part 01 (Meet Him)

8.8K 291 33
                                    

Setiap hati memiliki rahasia kesedihannya yang tidak diketahui oleh dunia, dan seringkali kita menyebut seseorang itu dingin, padahal dia hanya sedih.

Naina Aldebaran

******

Seorang gadis cantik dengan bola mata indahnya nampak sedang tersenyum hambar saat menatap wajahnya melalui pantulan cermin. Matanya sembab karena baru berhenti menangis, tangannya mengepal kuat saat ucapan Papanya di meja makan tadi terngiang-ngiang di dalam benaknya.

"Nai ...." Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar Naina seraya berjalan pelan menghampiri putri kecilnya.

"Naina nggak suka keputusan Bunda buat sekolahin Naina disana."

Saat memasuki masa putih abu-abunya, Naina menolak keras untuk masuk ke sekolah umum. Ia lebih memilih untuk homeschooling saja daripada harus berbaur di dunia luar yang menurutnya sangat kejam.

Bunda dan Ayahnya juga tidak tahu pasti kenapa anaknya berubah menjadi sangat pendiam seperti ini, dan dengan berat hati Luna dan Arka mengizinkan Naina untuk homeschooling selama dua tahun ini. Dan dua tahun juga Naina tidak pernah keluar rumah, gadis itu hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.

Luna mengusap lembut rambut panjang Naina. "Nai, lebih enak kalau sekolah itu bareng sama temen-temen. Makan bareng di kantin, kerja kelompok, gosipin orang, jahilin orang. Habisin waktu bareng sama temen-temen itu lebih asyik loh Sayang."

"Naina 'kan bisa habisin waktu Naina sama Bunda," ujar Naina seraya menatap wajah Luna melalui pantulan cermin.

"Umur kita beda jauh Sayang, Bunda mana tahu hal apa yang disukai anak remaja zaman sekarang. Lagipula saat terakhir Bunda masuk kamar kamu, kamu mala usir Bunda terus marah-marah nggak jelas."

"Maaf, Bun ...," lirih Naina seraya menundukkan kepalanya. Saat itu bukannya Naina marah dan ingin mengusir Bunda-nya, hanya saja saat itu ia sangat butuh ketenangan. Dan saat perasaannya sedang kacau, yang dia inginkan hanyalah menyendiri. Sedari kecil Naina hanya memendam sendiri masalah yang ia alami, Naina tidam pernah curhat tentang masalahnya kepada siapapun, termasuk Ayah dan Bundanya.

Entah masalah apa yang tengah gadis itu pendam saat ini.

Luna membingkai wajah cantik putri kecilnya. Umur Naina memang sudah tujuh belas tahun. Namun, dimata Luna dan Arka, Naina selalu kecil. Terlebih lagi gadis itu suka sekali ngambekan, dan terkadang bertingkah seperti anak kecil.

"Bunda udah pilihin sekolah terbaik buat kamu, seragamnya juga udah Bunda taruh di lemari kamu."

Seketika Naina berdiri dari duduknya, Naina menatap lekat wajah Bunda-nya. Bukan tatapan amarah, Naina hanya menatap Bunda-nya datar, orang akan berpikir beribu ratus kali untuk mendeskripsikan maksud dari tatapan Naina.

"Bun, Naina nggak mau sekolah di luar."

Luna tersenyum hangat. "Nai, kamu harus tahu jika dunia luar itu tidak semenyeramkan yang ada di dalam pikiran kamu. Nai, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah. Kamu juga harus merasakan kebahagiaan itu sayang."

"Kalian egois, Bunda sama Ayah nggak pernah mikirin perasaan Naina. Kalian cuma sibuk dengan pekerjaan kalian, sementara Naina ...?" Kelopak mata Naina mendadak terasa sangat panas. Sekuat tenaga ia menahan air mata itu. Namun, tetap saja, air mata itu mala mengalir dengan deras.

Luna hendak memeluk putri kesayangannya itu. Namun, Naina mala melangkah mundur seraya menggeleng lemah. Luna juga tidak tahu kenapa anaknya itu bersikap dingin seperti ini, Naina yang dulunya gadis ceria mendadak menjadi gadis yang sangat dingin. Bahkan, Naina tidak akan pernah berbicara jika lawan bicaranya tidak mengajaknya berbicara. Jikapun menjawab, Naina hanya menjawab pertanyaan itu seadanya. Singkat, padat, dan jelas. Itu sudah cukup mendeskripsikan jika Naina memang tidak suka berbicara.

JUST BE MINE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang