Disini aku yang membuat semuanya berubah, aku yang pergi meninggalkan, tapi aku merasa yang paling tersakiti. Lucu memang, aku yang meninggalkan tetapi aku yang paling tidak siap dengan kehilangan.
Naina Aldebaran
******
"Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan gelar Sri Rajasanagara (1350 -1389) yang tidak lain adalah cucu Raden Wijaya. Kepemimpinan Hayam Wuruk amat kuat berkat dukungan dari Mahapatih Gajah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit."
Semua murid kelas 11-1 mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Ibu Siti. Mereka sangat senang mendengar penjelasan darinya karena cara guru itu menjelaskan sangat singkat, padat, jelas, tidak bertele-tele, dan tentunya tidak membuat mereka mengantuk karena Ibu Siti selalu memberikan motivasi dan candaan di sela-sela penjelasannya. Bahkan Darwin yang biasanya tertidur saat guru menjelaskan pun kini nampak duduk tegap memperhatikan penjelasan dari Ibu Siti, walaupun sesekali cowok itu menguap dengan kedua matanya yang mengerjap-ngerjap.
"Ketua kelas kalian kemana? Katanya izin ke toilet, ini sudah dua puluh lima menit sejak dia meminta izin," kata Ibu Siti sembari menatap bangku Ardian yang masih kosong.
"Paling juga macet di koridor, Bu!" jawab Gio sembari terkekeh kecil.
Guru paruh baya itu menatap wajah Naina yang sedikit pucat, sepertinya muridnya satu itu sedang tidak enak badan. Biasanya Naina selalu aktif bertanya dan mencatat poin-poin penting dari penjelasannya. Namun, hari ini gadis itu hanya duduk diam menatap bukunya, bahkan kening gadis itu sudah basah karena keringat dingin.
"Naina, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu Siti khawatir saat melihat Naina yang sedari tadi memegangi perutnya.
Pertanyaan dari Ibu Siti membuat murid kelas 11-1 menatap ke arah Naina.
"Saya baik-baik saja, Bu!" jawab Naina sembari menggigit pelan bibir bawahnya. Sebenarnya, perutnya terasa sangat sakit saat ini.
"Sebaiknya kamu istirahat ke UKS, wajah kamu pucat sekali. Lagipula hari ini Ibu tidak akan memberi tugas, jadi nilai kamu akan tetap aman."
"Ada yang bisa menemani Naina pergi ke UKS?" tanya Ibu Siti. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang mau menemani Naina. Mereka berpura-pura sibuk saat ini, ada yang berpura-pura membaca buku dengan volume suara yang cukup tinggi. Ada pula yang berpura-pura tidur dan berpura-pura mendapatkan telepon dari orang tuanya.
Naina menundukkan dalam kepalanya, rasanya begitu menyakitkan berada di posisi seperti ini. Naina memang sudah terbiasa melakukan apapun sendirian. Namun, dijauhi oleh semua orang rasanya sangat menyakitkan. Ditatap aneh dan menjadi perbincangan hangat oleh semua orang sangatlah membuat hatinya terluka.
Naina memang tidak pernah menampakkan ekspresi sedihnya, gadis itu selalu memasang ekspresi dingin di hadapan semua orang. Namun, sebenarnya hati Naina sangat terluka.
Binar mata indah itu menoleh ke belakang, menatap Gama yang saat ini juga sedang menatapnya. Siapapun itu pasti mengerti tatapan berharap dari mata Naina agar Gama mau menemaninya pergi ke UKS. Namun, tidak untuk Gama saat ini, cowok itu segera memalingkan wajahnya ke arah jendela. Sepertinya Gama bersungguh-sungguh dengan ucapannya kemarin, dimana Gama mengatakan jika ia akan berhenti untuk perduli dan mengkhawatirkan Naina. Dan hari ini, Gama membuktikan ucapannya.
"Tidak ada yang mau menemani Naina?" tanya Ibu Siti heran dengan keningnya yang berkerut.
"Saya bisa sendiri, Bu!" kata Naina lalu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Namun, sebelum itu ia kembali menoleh ke belakang, menatap Gama yang lagi-lagi juga sedang menatapnya. Tatapan cowok itu masih sama, datar. Detik berikutnya, Gama merebahkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BE MINE [END]
Roman pour Adolescents⚠️ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA "Kenapa lo nggak biarin gue menang, sih? Kenapa lo mala lempar bola itu ke gue?!" teriak Naina. "Buat apa gue lakuin hal itu sama lo? Sementara lo nggak pernah anggap gue ada!" jawab Gama dengan wajah datarnya. "Apa lo...