Setiap genre musik punya kharismanya sendiri, selama ia tak berpandu pada grafik popularitas dan matematika belaka.
******
Setelah menyelesaikan tugas sekolahnya, Naina melirik jam dinding yang berada di dalam kamarnya. Masih menunjukkan pukul 19:23 malam.
Naina membuka kembali pesan dari pengirim misterius itu.
[Jika mencintaimu bisa semenyakitkan ini. Buat apa aku pernah percaya kalau jatuh cinta itu indah?]
Naina memejamkan kedua matanya, rasa bersalah itu terus saja menghantui pikirannya. Sampai kapan cowok itu akan terus meneror dirinya? Belum puaskah cowok itu melihat Naina menderita seperti ini?
Naina mengangkat kedua kakinya ke atas kursi. Ia memeluk erat kedua lututnya dengan matanya yang kembali berkaca-kaca. Apakah lelaki itu tidak bisa berhenti saat ini? Sudah cukup Naina ketakutan karena teror itu. Bahkan untuk membuka matanya saja Naina selalu merasa takut.
Lamunan Naina buyar karena suara notifikasi panggilan masuk dari Nathan.
Nathan is calling 📞
Karena moodnya yang sedang buruk, Naina sengaja tidak mengangkat panggilan masuk dari Nathan. Gadis itu terus saja melamun hingga panggilan ke sepuluh dari Nathan, barulah Naina angkat.
"Apa?!" tanya Naina dengan nada tidakk suka.
"Marah-marah mulu, Nai. Hehehe ...."
"Emmm, Nai. Keluar gih, gue ada di depan rumah lo," ucap Nathan.
"Mau ngapain? Halo? Nathan?!" Naina berdecak kesal karena Nathan mengakhiri panggilannya secara sepihak.
Dengan malas, Naina menghampiri Nathan yang saat ini sedang duduk manis di atas motornya. Nathan nampak tersenyum manis saat melihat Naina sedang berjalan menghampirinya.
"Hai!" sapa Nathan.
"To the point!" ucap Naina sembari bersedekap dada.
Nathan terkekeh geli dengan tangannya yang mengacak gemas rambut Naina. "Lo lupa? Kita 'kan satu kelompok buat kerjain tugas matematika."
"Nggak perlu, gue udah selesain tugasnya dari tadi. Dan lo nggak perlu khawatir, gue bakalan tetap nulis nama lo disana."
"Oh, ya? Gimana dengan janji lo buat ngajarin gue bahasa Inggris?" tanya Nathan sembari menaik turunkan alisnya.
Masih dengan wajah dinginnya, Naina menatap lekat wajah Nathan yang selalu tersenyum tanpa sebab. Mungkin otak Nathan yang kecil itu sudah sedikit miring, sehingga cowok itu selalu tersenyum ataupun tertawa tanpa sebab. Mungkin perkataan Darwin tadi siang ada benarnya juga, dimana Darwin dengan senang hati ingin menawarkan Nathan untuk berkonsultasi dengan Kakek-nya yang tak lain adalah seorang dukun. Sementara Gama mengusulkan agar Nathan di ruqyah saja untuk mengeluarkan setan-setan penunggu pohon mangga dekat sekolahnya yang selalu mereka lempari batu.
"Kapan gue janji buat ngajarin lo bahasa Inggris?" tanya Naina. Bukan apa-apa, pasalnya Naina sama sekali tidak mempunyai janji kepada Nathan untuk mengajari cowok itu bahasa Inggris.
"Nggak ada, hehehe ...!" Nathan tertawa lepas saat melihat wajah Naina yang sedang jengkel.
"By the way, kenapa lo lama banget angkat telepon dari gue?" tanya Nathan setelah mereka berdua terdiam cukup lama.
"Nggak mood," jawab Naina.
"Ayo!" ajak Nathan sembari mengulurkan tangannya di hadapan Naina.
Gadis itu mengerutkan keningnya bingung. "Kemana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BE MINE [END]
Teen Fiction⚠️ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA "Kenapa lo nggak biarin gue menang, sih? Kenapa lo mala lempar bola itu ke gue?!" teriak Naina. "Buat apa gue lakuin hal itu sama lo? Sementara lo nggak pernah anggap gue ada!" jawab Gama dengan wajah datarnya. "Apa lo...