Part 27 (Kecewa)

1K 65 26
                                    


Maaf, bukannya aku tidak ingin berjuang. Hanya saja aku tahu batasan antara harus berjuang atau mundur. Antara dibutuhkan atau tidak.

Gama Orionis

*****

Pelajaran ketiga untuk kelas 11-1 adalah matematika, pelajaran yang hampir dibenci oleh semua anak sekolah, dimana mereka harus memutar otak untuk menemukan jawaban yang tepat. Bahkan Nathan saat ini hanya bisa berdoa semoga matematika cepat dewasa sehingga bisa menyelesaikan sendiri masalahnya. Bukan apa-apa, hidupnya saja sudah banyak masalah, tidak mungkin ia harus menyelesaikan masalah pelajaran matematika sementara masalah hidupnya semakin banyak.

Nathan, cowok itu tidak sengaja melihat Gama yang sedang menatap Naina dari kejauhan. Cowok dengan iris coklat kelam itu nampak menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan matanya yang fokus melihat ke arah Naina yang sedang sibuk mengerjakan tugas dari Pak Revan. Walaupun Pak Revan sedang tidak masuk, semua anak-anak yang rajin dan pintar akan tetap mengerjakan tugas mereka, walaupun tugas itu akan dikumpulkan minggu depan. Berbanding terbalik dengan anak-anak yang memang tidak suka belajar, mereka lebih memilih untuk bermain ponsel atupun mengobrol.

Baru saja Nathan ingin melempar bola kertasnya ke arah Gama, suara teriakan dari Ardian membuat semua murid kelas 11-1 menatap heran ke arah ketua kelas itu.

"Ibunya Naina ngamuk di ruang guru!" kata Ardian dengan napasnya yang tersengal-sengal. Ketua kelas bobrok itu baru saja selesai mengumpulkan tugas kimia ke ruang guru, dan tidak sengaja melihat Ibunya Naina sedang mengamuk tidak terima atas semua tuduhan tentang anaknya.

Naina, gadis itu segera belari menuju ruang guru, diikuti oleh anak-anak lain yang ikut penasaran. Tidak biasanya Ibu Naina datang ke sekolah, biasanya mereka hanya akan melihat Arka mengantar jemput Naina ataupun sekedar berbincang dengan wali kelas seputar masalah nilai evaluasi Naina.

Mereka kira Ardian akan kembali melakukan prank kepada mereka. Namun, saat melihat seorang wanita paruh baya yang sedang mengomel di depan kantor, serta tiga orang pria yang berbadan kekar dengan setelan jas hitam dan kaca hitam, yang mereka yakini adalah bodyguard keluarga Naina. Membuat Naina dan anak-anak lainnya hanya bisa terdiam kaku.

"Saya tidak terima anak saya dikeluarkan secara tidak terhormat seperti ini!" tegas Luna sembari menatap tajam wajah Pak Anto.

"Bu, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya atas masalah ini. Namun, jika kami masih mempertahankan Naina bersekolah disini, akan membuat citra sekolah kami buruk," kata Pak Anto, selaku kepala sekolah SMA Yongsan.

"Pak, apa Bapak punya bukti kalau anak saya memang bersalah? Apa bukti vidio yang disebarkan oleh murid bodoh itu bisa mendeskripsikan bahwa anak saya memang berbuat jahat?" tanya Luna dengan penekanan di setiap kalimatnya.

Pak Anto menghela pelan napasnya. "Saya dengar insiden beberapa tahun silam itu masih menjadi misteri, saya takut jika anak Ibu memang benar melakukan hal itu, maka citra sekolah kami akan buruk. Dan juga, banyak anak-anak yang tidak berani datang ke sekolah saat mengingat kejadian itu."

Luna terkekeh renyah saat mendengar ucapan Pak Anto, bukankah tidak sepantasnya seorang guru berbicara seperti itu? Seharusnya mereka menggali informasi yang lebih dalam lagi, maka mereka akan mendapatkan kebenarannya. Bukan mala diam dan bersembunyi seperti ini hanya untuk melindungi nama baik sekolah mereka.

"Saya akan membawa masalah yang menimpa anak saya ini ke dinas pendidikan!" ancam Luna, membuat semua guru yang berada disana tersentak kaget.

"Bunda!" teriak Naina sembari berlari memeluk Luna.

JUST BE MINE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang