#56 The Real War

416 88 23
                                    

Yuna mengerjap saat mendapati seorang pria berdiri di hadapannya. Ia merasa lidahnya kelu dan kakinya terasa berat.

Hingga akhirnya ia justru bersujud, membuat Jeongsan berusaha keras menahan tawanya.

"Maaf, aku selalu menangis. Aku berjanji tidak akan menangis lagi."

Jeongsan menggeleng lalu meminta Yuna berdiri. Bahkan ini membuat gadis itu heran sebab sentuhan itu terasa sangat nyata untuknya. "Kau menganggapku hantu?"

"Ini ...."

Jeongsan terkekeh. "Kau sungguh menganggapku hantu? Kau jahat padaku."

Jeongsan tahu kemunculannya pasti terasa sangat aneh. Namun, ia tak mungkin terus bersembunyi. Lagi pula, kematiannya dipalsukan oleh sang Ayah. Jadi, bagi dunia ia belum tiada.

Jeongsan membuka lebar tangannya, membuat Yuna tersenyum kemudian mendekap pria itu.

"Aku sangat merindukanmu. Kau tahu? Aku selalu pergi ke krematorium." Yuna mulai terisak. Ia menenggelamkan wajahnya hingga aroma lembut itu leluasa menyapa indera penciumannya.

"Yuna-ya, bagaimana kabarmu?" tanya  Jeongsan dengan sangat lembut. Namun, gadis itu tetap menangis, membuat Jeongsan terkekeh sambil mengeratkan pelukannya. Ia juga sangat merindukan Yuna.

Suara pintu dibuka membuat Jeongsan refleks mendorong Yuna hingga gadis itu terjatuh. Namun, detik berikutnya ia segera menolong Yuna.

Yuna menatap tajam Jeongsan. Ia heran bagaimana pria itu merusak suasana haru menjadi suasana yang cukup canggung.

Jihyo membulatkan mata saat tatapannya bertemu dengan Jeongsan. Namun, pemuda itu membalas dengan sebuah senyuman manis.

"K-kau---"

"Aku bukan hantu," ujar Jeongsan diakhiri kekehannya. Namun, Jihyo tetap menunjuk Jeongsan dengan tatapan gemetar. Wanita itu nampaknya cukup ketakutan.

"Oh, astaga." Jihyo menopang tubuhnya dengan tangan tangan. Kakinya sungguh terasa lemas karena Jeongsan yang sudah tiada, kini berdiri di hadapannya. "Apa bangkit dari kubur adalah tren saat ini? Oh, astaga, kepalaku jadi pusing."

Yuna segera menghampiri sang Ibu, menopang tubuhnya agar tak terjatuh. Ia lantas terkekeh meski dengan mata yang masih sembab, juga hidungnya yang terasa tersumbat. "Dia tidak benar-benar tiada, Eomma."

"Oh? Sungguh?" Jihyo memegangi kepalanya yang terasa pening. Untuk beberapa saat ia mengira jika ini semua hanya sebuah ilusi. Namun, ia percaya saat tangannya menyentuh tangan Jeongsan, terasa nyata. Mana mungkin hantu bisa disentuh 'kan?

"Syukurlah kau masih hidup dan baik-baik saja. Tunggu, bagaimana dengan Mirae?" Jihyo meremang, mengingat saat Tzuyu berontak dengan hampir melukai Naeun. Ia yakin tak salah dengar jika Mirae mengakui semuanya. Satu hal yang masih tak ia percayai adalah sikap Tzuyu. Bahkan sampai detik ini, tak ada satu pun wanita di Athena yang mau menghubungi Tzuyu.

"Ah ya, mau mampir?" tanya Jihyo, membuat Jeongsan dengan senang hati menerimanya. Lagi pula, ia tak punya alasan untuk menolaknya.








Mina menatap foto-foto pernikahannya. Sesekali ia tersenyum, melihat bagaimana senyum bahagia itu terulas di potret itu. Ia sadar, seharusnya ia tak pernah memberikan celah untuk orang ketiga sekali pun itu adalah temannya.

Mina segera menutup album foto pernikahannya, kembali meletakannya di dalam laci saat mendengar langkah sang putra. Ia kemudian menoleh saat mendengar pintu terbuka dan segera tersenyum saat Jaehwan melangkah lebih dekat lalu memeluknya. "Bagaimana latihannya?"

Athena✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang