65- Malam Terakhir 🍁

896 47 0
                                    

Jangan lupa vote ♥️


Gunung
Dari banyaknya destinasi, aku memilih gunung. Melihatnya seperti memandang keindahan wajahmu. Perbukitan yang menjulang tinggi hijau itu bagai candu yang selalu ku ulang dalam bayangan. Suasana sejuk itu mengalahkan kehangatan wajahmu.
Terima kasih Tuhan.
Ciptaanmu memang selalu indah








Asya mengurung dirinya di dalam tenda, tidak memperdulikan sautan dari teman-temannya. Ia meringkuk di atas tikar, tatapannya kosong. Ia meminta penjelasan, namun tak ada satu orangpun yang mau memberitahunya. Semuanya diam, termasuk Azzam. Ia tahu di sini ada hubungannya dengan suaminya. Tapi ia tidak tahu apa. Semuanya tampak menyakitkan. Diam yang membunuh.

Tak terasa tetes demi tetes air mengalir di pipinya. Ia memejamkan matanya, merasakan kehangatan di pelupuk mata. Isakan tangisnya terdengar pilu. Dadanya juga sesak.

Asya membuka matanya perlahan, ia mengusap air matanya.

"Ya Allah, kenapa mereka begitu," gumamnya dibalik isak tangisnya.

"Kenapa Asya gak berhak tahu Ya Allah,"

Dalam diam Asya menahan tangisannya, ingin sekali berhenti menangis, tapi sangat sulit. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di dalam ringkukannya berharap ada seseorang yang baik membawanya pergi dari tempat itu.

Ia kira sahabatnya akan menjelaskan apa yang mereka sembunyikan, tapi ternyata perkiraannya adalah salah. Ini jelas sangat menyakiti perasaannya.

"Sya," terdengar suara Syila dari arah luar, entah sudah panggilan yang keberapa puluh kali, Asya tetap tak peduli.

Terdengar helaan nafas pasrah, "Ayo keluar, kita nungguin kamu." ucapnya.

Tidak ada jawaban, keempat orang itu saling pandang. Susah sekali membujuk Asya.

"Kita minta maaf," kali ini Fahmi yang bersuara.

Di dalam tenda Asya menggigit bibirnya kuat, agar isak tangisnya tidak terdengar sampai luar.

Syila menatap Rachel pasrah, "Aku bilang juga apa, kalo tadi kalian gak nahan aku buat ngomong sama Asya gak bakal gini ceritanya." ujar Rachel kesal.

"Ini lebih baik daripada kamu cerita Chel." tukas Fahmi.

Rachel menatap Fahmi acuh, ia mendekat ke arahnya. "Lebih baik,"

Rachel mendengus sebal, "Asya gak keluar tenda selama 5 jam. Liat, ini udah jam berapa, bahkan matahari pun udah tukar posisi sama bulan." ucap Rachel, ia memperlihatkan jam tangannya ke arah Fahmi, agar dia tahu betapa lamanya Asya mengurung diri.

Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Fahmi, dia bungkam. Kemarahan Rachel membuatnya kalut.

"Dia gak harus tau," kata Azzam dingin, setelah lama hanya diam mendengarkan yang lain kini Azzam membuka suara.

Lagi-lagi Rachel dibuat emosi, "Kalian egois, kalian gak tahu kan, rasanya gak dihargai." Rachel memejamkan matanya, menarik nafas dalam.

"Kalian gak tahu kan, rasanya gak dikasih kesempatan buat tahu. Kalian gak bakal ngerti rasanya jadi Asya. Sesakit apapun kebenaran akan lebih sakit lagi kebohongan yang tertutup tirai indah." ucap Rachel dingin, ia beranjak pergi.

Ketiga orang itu sama-sama bungkam, Azzam memijit pelipisnya, tidak mengerti lagi cara membujuk Asya.

Fahmi menatap Azzam tajam, "Dari awal saya sudah bilang, jangan pernah sakitin Asya," Fahmi menunjuk Azzam dengan jari telunjuknya.

Azzam menegakkan tubuhnya, balas menatap Fahmi tajam.

"Sialan," ucap Fahmi geram.

Bugh

Bugh

Bugh

Fahmi mendaratkan bogemannya ke arah perut Azzam, cukup keras sampai membuat tubuh Azzam terjungkal.

Azzam tak melawan, ia memejamkan matanya menahan sakit. Ia memang pantas mendapatkan pukulan ini. Walaupun sebenarnya sakit di perutnya tak seberapa dibanding sakit hatinya Asya karena ulahnya.

"Puas, buat Asya menderita." kata Fahmi dengan nada tinggi, bahunya yang lebar terlihat naik turun menahan gejolak emosi.

Syila segera melerai keduanya, "Stop, gak usah memperkeruh keadaan lagi, Asya aja belum baik, ditambah kalian berantem, itu gak bakal bikin masalah selesai." lerai Syila dengan emosi, ia menatap Fahmi tajam.

"Ikut aku!" perintah Syila, ia berjalan menjauh dari tenda milik Asya.

Syila berhenti sejenak, berbalik  dan menatap Azzam sebentar, "Kak Azzam bujuk Asya, kasih penjelasan karena kak adalah suaminya."

Azzam menggaguk pasrah, ia terus memegang perutnya yang terasa sakit.  Banyak pasang mata yang melihatnya, Azzam tidak peduli itu, ia hanya ingin bertemu Asya dan menjelaskan semuanya. Sekarang.

Dengan berjalan tertatih, Azzam mendekati tenda dan berbisik. Ia tersenyum kecil, walaupun Asya tidak melihatnya.

"Sya," panggil Azzam lirih.

Azzam tak melepas senyum di bibirnya, "Aku tahu, aku salah. Tapi aku gak mau kamu sakit Sya," Azzam mengusap air matanya, dia menangis.

"Andai tadi aku cerita semua, mungkin kamu gak bakal semarah ini." Azzam terkekeh, menertawakan kebodohannya selama ini.

"Sekali lagi, aku minta maaf." ucap Azzam, terdengar sangat tulus.

"Aku tunggu kamu jam delapan ya, aku pikir kamu masih ingat kan, tempatnya." Azzam diam sejenak, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Aku akan jujur, semua perasaan aku ke kamu. Kamu tidak perlu lagi menunggu Sya, penantian kamu akan berakhir." ucapnya parau.

"Aku sayang sama kamu," ucapnya di ujung kalimat.

Tangis Asya pecah di dalam tenda, air matanya terus berderai. Ingin sekali ia ingin memeluk suaminya, tapi rasa sakit di hatinya tak urung melunturkan egonya.

"Mas Azzam," gumam Asya lirih.

Asya memeluk dirinya sendiri, meluapkan kekesalannya dengan terus menangis.

Azzam berjalan menjauh, mencari ketenangan di malam hari hingga akhirnya ia memutuskan pergi berwudhu untuk menenangkan pikirannya.

Tanpa sadar, dari balik pohon besar ada seseorang yang tersenyum puas melihat adegan kacau itu. Dalam hatinya bersorak bahagia.

***

Tepat pukul delapan, Asya merapikan pakaiannya, menghapus bekas air mata di pipinya. Bibirnya tersenyum pahit, ia sudah mempersiapkan mentalnya. Mendengar kalimat terakhir dari suaminya, Asya sedikit membaik.

Asya menghela nafas panjang, dengan perlahan ia membuka resleting tenda yang sudah berjam-jam lamanya tak dibuka.

Suasana ramai menyambut malam terakhir di puncak. Semua orang berkumpul di dekat api unggun menyanyikan lagu yang populer pada saat ini.

Asya berjalan perlahan melewati tenda-tenda milik orang lain. Ia berhenti sejenak untuk menetralkan perasaannya, apapun keputusannya nanti harus diterima.

"Asya," panggil Nadia.

Asya berbalik melihat Nadia, lalu tersenyum ramah.

"Kenapa Nad?" tanya Asya.

"Aku gak lihat kamu keluar tenda dari tadi. Oh iya aku mau ngajakin kamu nyanyi bareng di sana. Suara kamu kan, bagus. Apalagi kalo solawatan." ujar Nadia dengan penuh harap.

"Tapi Nad,"

"Ayolah please!" Nadia menangkupkan tangannya di depan dada.

Asya tersenyum kecil, ingin sekali menolak, tapi tak sampai hati melihat keantusiasan temannya. Akhirnya ia menyetujui ajakan Nadia.

Aku gak boleh lama, pasti mas Azzam nungguin, batin Asya.














Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hai-hai-hai.
Makasih ya, buat yang udah mau nyempetin baca sama vote.
Ambil baik dan buang buruknya ya.
Terima kasih.

Aku Padamu Ya Ukhti (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang