35- Tragedi Pintu 🍁

1K 64 0
                                    


Jangan lupa tekan bintangnya, share dan komen😄

Terkadang rasa paranoid lah yang membuat kepercayaan diri kita memudar.


Pagi ini Asya sibuk menyiapkan bekal untuk Azzam. Bukan tak mampu membeli makan siang di luar, tapi Asya selalu bilang, makanan rumah lebih sehat. Azzam hanya bisa menurut karena memang masakan Asya selalu enak, dan lebih hemat tentunya.

"Mas, bekalnya jangan lupa di makan?"

"Pasti ... masakan kamu kan selalu enak." puji Azzam.

Pipi Asya bersemu mendengar pujian itu. Ia sangat senang karena Azzam selalu menghargai apa yang dibuat dan diolah oleh kedua tangannya.

"Berangkat sekarang?"

Asya mengangguk, lalu menyambar tasnya dan bekal makanan Azzam, akan ia berikan nanti di mobil.

Di perjalanan Asya sibuk membaca buku novelnya, Azzam yang tak dihiraukannya pun merasa jengah, terus saja diduakan dengan buku.

"Kacang gurih, ya." celetuk Azzam.

Asya menoleh dan menatap Azzam dengan raut bingung, "Kalo gak gurih bukan lagi kacang namanya."

"Perih namanya." balas Azzam penuh penekanan.

Asya menautkan alisnya, semakin bingung dengan ucapan Azzam, "Kok perih?"

"Karena di kacangin itu, perih." jawab Azzam dramatis.

Asya mendengus, "Lebay." lalu kembali melanjutkan membacanya.

Merasa diacuhkan lagi Azzam kembali fokus menyetir, biarlah Asya sibuk dengan dunianya sendiri.

"Gak baik loh Sya cuekin suami."
seloroh Azzam dengan nada menyindir.

Asya reflek menutup bukunya. "Iya ini enggak lagi."

Azzam tersenyum menang, "Nanti pulangnya mau dijemput?"
yanya Azzam.

Asya tampak berpikir, "Enggak deh, mas fokus kerja aja!" tolaknya halus.

"Nanti bisa di atur sama Gilang." tukasnya.

Asya menghela nafas jengah, pemaksaan batinnya.

"Katanya di kantor lagi banyak kerjaan."

Ah benar juga, pekerjaannya sedang menumpuk akhir-akhir ini, belum lagi mengurus kerja sama dengan investor, membuatnya harus ekstra siap dan siaga.

"Lagian Asya bisa naik taksi atau ojek."

"Jadi gak mau?"

Asya menggeleng, "Kalo Asya ngerepotin mas terus, nanti kerjanya gak profesional."

Tatapan Azzam beralih ke arah Asya, tangannya ia ulurkan mengacak kepalanya yang tertutup jilbab.
Senyum Azzam menular kepada Asya yang juga ikut tersenyum.

"Yang serius kuliahnya!" Azzam menghentikan mobilnya di depan gerbang aula kampus.

"Yang serius juga kerjanya." balas Asya.

"Asya duluan, Assalamualaikum." ujar Asya sambil menyambar tangan Azzam dan menciumnya.

"Wa'alaikumsalam."

Asya membuka pintu mobil, sebelum turun ia menoleh menatap Azzam selama beberapa detik.

"Sya?" Panggil Azzam.

"Apalagi?"

"Jangan rindu." ucap Azzam.

Blush. Pipi Asya merona, selalu saja dibuat melayang dengan kata-kata gombalannya. Dasar Azzam, mengungkapkan cinta saja belum sudah pandai menerbangkan.

Aku Padamu Ya Ukhti (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang