Daniel menatap Rangel dengan sorot mata yang tajam, penuh tekanan. Suasana di ruangan itu seakan dipenuhi ketegangan yang tak terbendung. "Cepet pilih, mau yang mana?" suaranya mendesak, hampir seperti perintah yang tak boleh dibantah.
Namun, meski ditekan sedemikian rupa, Rangel tetap teguh pada pendiriannya. Dia menggeleng keras, wajahnya menunjukkan keteguhan yang tak mau goyah. "Gak, gua tetep gak mau!" jawabnya, suaranya serak namun tegas, menunjukkan kekehan yang seolah menjadi benteng pertahanannya.
Daniel mulai merasa frustasi. Keputusannya menggantung, sedangkan waktu tak memihak. Kesabarannya sudah di ujung tanduk. "Cepet bawa nih cewek dari sini!" serunya dengan suara yang dipenuhi kemarahan.
Daniel sudah tak mau berurusan lebih lama lagi dengan Rangel, yang baginya hanya membawa kekacauan. "Saya muak melihat dia! Kalau kau tak mau memilih, maka bodyguard yang akan turun tangan!" lanjutnya, memberi isyarat kepada dua pria berbadan besar yang sudah bersiaga sejak tadi.
Tanpa banyak bicara,bodyguard-bodyguard itu segera bertindak. Mereka dengan sigap menyergap Rangel, menariknya dengan paksa. Meski Rangel berusaha meronta, kekuatan mereka terlalu besar untuk dilawan. Lengannya dijepit erat, dan dia diseret keluar ruangan seolah-olah tak lebih dari sekadar barang yang tak berharga. Wajah Rangel yang tadi penuh perlawanan kini berubah ketakutan. Namun, dia tetap bertahan pada keputusannya. Pilihan yang diminta Daniel darinya bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja.
Daniel menyandarkan tubuhnya ke kursi, meremas pelipisnya yang terasa berdenyut. Pikirannya kacau, amarah berkecamuk dalam dadanya. “Biarkan saja mereka yang urus. Kalau dia tak mau memilih, itu urusan mereka sekarang,” gumamnya dengan suara rendah, namun cukup keras untuk didengar orang-orang di sekitarnya. Bagi Daniel, ini bukan lagi tentang pilihan sederhana. Ini tentang harga diri, tentang kendali yang harus dia pegang penuh.
Di saat yang sama, Rangel diseret keluar dari pandangan Daniel, tapi tekadnya tak luntur. Meski tubuhnya dipaksa tunduk, jiwanya tetap teguh.
Aurel yang mengingat Donia segera menanyakan kepada Brandon. "Brandon, gimana Donia apa dia sudah siuman apa gimana?" Dengan nada sedih dan khawatir.
Brandon menatap Aurel dengan serius, berusaha menenangkan kekhawatiran yang ditunjukkan oleh Aurel. “Donia sudah dalam kondisi yang lebih baik sekarang. Luka-lukanya tidak terlalu parah, tapi dia masih perlu istirahat dan pemulihan,” jawab Brandon, mencoba memberi keyakinan.
Daniel, yang mendengar pertanyaan Aurel, menambahkan, “Dokter sudah memastikan bahwa Donia dalam keadaan stabil. Meski dia perlu beristirahat, kondisinya tidak mengkhawatirkan. Yang penting sekarang adalah memastikan dia merasa aman dan nyaman.”
Rara menghela napas lega, merasa sedikit tenang mendengar kabar tersebut. Dia tahu betapa pentingnya Donia baginya dan merasa bersalah atas segala yang terjadi, meskipun dia tidak terlibat langsung.
“Terima kasih, Brandon,” kata Rara, lalu dia melihat ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya.
Rara pergi duluan ke kamar rawat Donia. Rara dan Ryan masuk ke dalam ruangan, mereka melihat Donia yqang sedang berbaring di tempat tidur, tersenyum lemah melihat kehadiran mereka.
“Aku senang melihat kamu datang Ra,” kata Donia, meskipun suaranya masih lemah.
Brandon duduk di samping tempat tidur Donia, menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita semua sangat khawatir padamu, Donia. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Donia mengangkat sedikit kepalanya dan mencoba tersenyum. “Aku merasa lebih baik. Terima kasih sudah datang dan mendukungku.”
Daniel, berdiri di samping tempat tidur, mengangguk. “Sekarang, fokuslah pada pemulihanmu. Semua masalah lainnya akan kami urus.”
Sementara itu, Rara dan Ryan berdiri di sisi lain ruangan, memberikan ruang bagi Brandon dan Daniel untuk berbicara lebih dekat dengan Donia. Mereka melihat ke arah Donia dengan penuh simpati, merasa terhubung dengan perasaan Donia melalui dukungan mereka.
“Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memberi tahu kami,” tambah Rara.
“Kami akan selalu ada di sini untukmu," sambung Rara lagi.
Donia mengangguk dengan lembut. “Terima kasih, Rara Aku benar-benar menghargai dukungan kalian.”
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Brandon
RomanceBrandon, seorang cowok yang tak pernah tertarik pada cewek, selalu menganggap mereka ribet, cengeng, dan menjijikkan. Namun, pandangannya berubah ketika dia bertemu Donia, gadis tangguh yang memiliki sisi manja dan pemberani. Meski Donia seorang ind...