|| 47. Sudah Boleh Pulang ||

428 63 1
                                    

"Saya mau menyampaikan, kalau hari ini Nona Donia sudah boleh pulang!" kata dokter sambil tersenyum hangat ke arah Donia. Mendengar kabar itu, Donia langsung bersorak riang, wajahnya dipenuhi kegembiraan.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya," lanjut dokter itu sebelum meninggalkan ruangan. Begitu dokter keluar, Daniel langsung menoleh ke arah adiknya, senyum lebarnya tak bisa ditutupi.

"Dengar? Kau udah boleh pulang!" sahut Daniel, ikut senang melihat kondisi Donia yang membaik.

Donia menoleh ke Daniel, mengangguk dengan semangat. "Iya, aku boleh pulang! Yeayy! Akhirnya bisa balik ke kasurku!" katanya dengan antusias.

Daniel hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir. "Seriusan, Donia, dari semua hal, yang kamu kangenin itu kasur?"

Daniel tertawa kecil melihat kelakuan adiknya yang selalu tak terduga. "Kasur, ya? Bukan kebebasan, bukan makanan enak, tapi kasur?" candanya, menahan tawa.

Donia memajukan bibirnya, seolah protes. "Hei, kasur itu penting banget! Di sini kasurnya keras, gak enak. Aku gak sabar balik ke kasurku yang empuk!"

"Ada-ada saja kau ini! Masa kangennya sama kasur," kata Daniel sambil menggeleng-geleng tak percaya.

"Gapapa," jawab Donia sambil tersenyum lebar. Daniel mulai menyiapkan segala sesuatu untuk kepulangan mereka. Baju ganti yang dibawa untuk Donia malah tak terpakai, tapi Daniel bersyukur adiknya sudah boleh pulang lebih cepat.

Donia bersemangat, langsung menurunkan kedua kakinya dari kasur rumah sakit. Namun, Daniel buru-buru menahan gerakannya. "Etts, jangan turun dulu!"

"Kenapa? Aku kan udah boleh pulang?" tanya Donia sambil memandang Daniel heran.

"Tunggu sebentar, aku lagi beresin tas dulu," jawab Daniel sambil membereskan barang-barang di sekitar mereka. Donia mengangguk patuh, meski jelas terlihat sudah tak sabar.

Setelah selesai membereskan tas, Donia kembali mencoba menurunkan kakinya, tetapi Daniel lagi-lagi menghentikannya. "Tunggu dulu, Donia!"

"Astaga, ada apa lagi kali ini?" Donia mulai kesal, melipat tangannya di dada.

"Aku belum menelepon supir. Sabar lah sebentar!" kata Daniel sambil tersenyum tipis. Donia mendengus kesal, namun ia kembali menaikkan kakinya ke kasur. Sudah tak sabar ingin segera berada di kamarnya sendiri.

"Udah di mana, Bang?" tanyanya dengan nada tak sabaran, sementara Daniel baru saja mengeluarkan ponselnya dari saku.

"Sabarlah sedikit! Aku baru saja ambil ponselnya," Daniel menjawab sambil tertawa kecil.

Donia hanya mendengus lagi, semakin tak sabar. Sementara Daniel menelepon sang supir, mengusap-usap lembut rambut adiknya. "Hallo, bisa jemput kami di rumah sakit?" tanyanya ke telepon.

"Tentu, tuan. Nanti saya kirim lokasinya," jawab supirnya dari seberang telepon.

Setelah menutup telepon, Daniel melihat Donia yang kini cemberut dengan ekspresi lucu. Ia menepuk-nepuk pipi adiknya sambil tersenyum. "Sabar, sebentar lagi supirnya sampai," katanya sambil mencubit pelan pipi Donia.

Tak sampai lima menit, mobil mereka sudah tiba di depan rumah sakit. Donia dan Daniel pun segera keluar dari ruangan, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Akhirnya, mereka pulang ke rumah, dan Donia tampak tak sabar untuk segera merebahkan diri di kasur kesayangannya.

Beberapa menit kemudian...

Pintu ruangan Donia terbuka perlahan, dan supir mereka masuk. "Permisi, tuan," katanya sopan sambil menutup pintu di belakangnya. Wajah Donia langsung berbinar lagi, senang bukan main karena ini berarti dia segera bisa pulang ke rumah.

"Ayo, Bang!" seru Donia penuh semangat, menarik-narik lengan Daniel dengan antusias. Dia sudah tak sabar lagi untuk meninggalkan rumah sakit. Melihat Donia yang begitu bersemangat, Daniel hanya bisa tersenyum kecil.

"Pak, tolong bawakan tasnya ya," pinta Daniel pada supir sambil membiarkan adiknya menariknya menuju pintu.

Supir itu segera mengangkat dua tas yang dibawa Daniel, lalu mengikuti Donia dan Daniel yang sudah berjalan cepat ke arah parkiran. Dengan langkah tergesa-gesa, Donia terus memimpin jalan, sementara Daniel dan supir tertawa kecil melihat semangat Donia yang tak terbendung.

"Pelan-pelan, Donia, gak usah buru-buru," kata Daniel sambil menghela napas, meskipun dia ikut senang adiknya sudah bisa pulang. Sesampainya di parkiran, mobil sudah menunggu, siap membawa mereka pulang.


Bersambung....

Jangan lupa vote dan koment ya!

BrandonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang