“kok makan? Kan belum dapet kado” tanya Daisy disela langkahnya,
“nanti”
Daisy terdiam, tak berniat untuk kembali melontarkan pertanyaan. Saat ini Daisy memilih untuk pasrah saja, mengikuti langkah Aster tanpa memberikan penolakan, membiarkan Aster manarik tangannya kemanapun ia mau. Bukan apa-apa, saat ini Daisy hanya berfikir bahwa mungkin Aster mulai lapar dan ingin membeli sesuatu. Lagipula, saat ini Daisy pun merasakan hal yang sama, merasa lapar dan sedikit khawatir jika nanti maagnya kembali kambuh.
Aster menggandeng tangan Daisy cukup lama, setelah mereka menginjakkan kaki di area food court barulah Aster melepaskan genggaman tangannya dengan canggung.
Daisy pun tak kalah canggungnya, saat ini dengan gugup ia tampak mencengkram pergelangan tangan kirinya yang sedaritadi di genggam Aster, melakukan hal itu dengan tujuan untuk menghilangkan rasa gugup.
Perlahan Daisy mengedarkan pandangannya ke sekitar, menyorot satu demi satu kedai makanan yang berjejer rapi, menyuguhkan berbagai macam makanan yang berbeda-beda di setiap bloknya. Jujur saja, deretan makanan itu sangat menggugah selera, aroma khas makanan enak tentu saja membuat mata Daisy berbinar semangat.
Namun, detik berikutnya ekspresi Daisy berubah, saat ini ia tak membawa uang banyak, jika pun ia membawa uang dengan nominal lebih besar, pastinya Daisy akan makan sambil diselimuti rasa tak tenang. Bagaimana bisa Daisy menggunakan uangnya dengan begitu boros sementara Ayahnya diluar sana tengah bekerja keras.
Diluar dari hal itu, saat ini suasana di area food court terlihat sangat ramai, bahkan Daisy pun tak menyangka bisa sampai seramai ini. Para pengunjung tampak memenuhi setiap kedai, kursi yang disediakan pun tampak penuh, nyaris tak ada yang kosong. Jika seperti ini, acara makan-makan Daisy mungkin akan semakin tak tenang.
Perlahan Daisy menoleh kearah Aster, berniat untuk memberikan saran agar mereka makan ditempat lain saja. Namun, Daisy tak jadi memberikan sarannya, saat ini ia dibuat terheran-heran dengan Aster yang kembali menunjukkan wajah khawatirnya, raut ketakutan yang sama persis seperti saat di dekat moshola tadi kembali terlihat diwajah Aster.
Daisy semakin dibuat bertanya-tanya dengan gelagat aneh Aster, dirinya sudah sangat dibuat penasaran sekarang. Maka dari itu, untuk saat ini Daisy memilih untuk bertanya saja kepada Aster dengan hati-hati.
“Aster? Lo gak papa kan?”
Dengan cepat Aster menoleh, terlihat panik. Detik berikutnya Aster kembali mengalihkan pandangan pada keramaian di depan sana dengan kedua bola mata yang bergetar dan nafas yang mulai tak beraturan, seolah tengah ketakutan.
Daisy kembali mengikuti arah pandang Aster, lagi-lagi tak ada yang aneh di depan sana, hanya kerumunan beberapa orang yang tampak memperebutkan kursi untuk duduk.
Detik berikutnya, entah ilham apa yang tiba-tiba merasuki diri Daisy, dirinya tiba-tiba saja menyimpulkan bahwa saat ini Aster sedang tak tenang, ia tampak risih.
Mungkinkah Aster takut keramaian?Namun, saat ini Daisy tak punya waktu untuk memikirkan pendapatnya itu, saat ini ia harus segera mengajak Aster pergi dari sini, secepat mungkin, sebelum semuanya memburuk.
Perlahan Daisy meraih telapak tangan Aster yang tampak berkeringat karena gugup, menggenggamnya lembut lalu mengusap punggung tangan Aster dengan ibu jarinya, berharap bisa menyalurkan energi positif, menenangkan Aster.
Tak ada penolakan dari Aster, ia membiarkan Daisy menggenggam tangannya, bahkan Aster tampak mengeratkan pegangan, menggenggam balik telapak tangan Daisy dengan begitu erat, seolah menjadikannya sebagai tempat berlindung.
Daisy memiringkan kepalanya, berusaha mengamati ekspresi Aster saat ini, memastikan keadaannya. Tanpa Daisy sangka Aster perlahan menatapnya balik, wajah Aster mungkin memang terlihat datar, tapi terlihat jelas dari sorot matanya Aster masih khawatir, kedua bola matanya masih bergetar, nafasnya pun masih terdengar tak beraturan, Aster belum baik-baik saja.
Daisy membalas tatapan Aster dengan sorot hangatnya, lalu menunjukkan senyum tipis yang benar-benar tulus. Perlahan Daisy mengeratkan genggamannya, menarik tangan Aster agar beranjak dari sana, menuju sebuah tempat yang tentunya sudah Daisy tentukan dan berjalan dengan langkah sangat pelan agar membuat Aster lebih rileks.
Sepanjang perjalanan tak ada percakapan yang terjadi, baik Aster maupun Daisy sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing, hanya kedua tangan mereka yang seolah menunjukkan komunikasi satu sama lain.
Daisy terus mengusapkan ibu jarinya kepada punggung tangan Aster, walaupun sebenarnya banyak sekali hal yang ingin Daisy tanyakan, tapi saat ini ia memilih untuk tetap diam dan menenangkan Aster, menunggu sampai kondisinya membaik. Sementara itu, saat ini Aster berusaha menetralkan kondisinya, mulai mengstabilkan nafasnya yang tadi sempat tak karuan, perlu Aster akui bahwa keberadaan Daisy cukup membantunya, genggaman hangat itu membuat Aster lebih tenang dan merasa nyaman.
Saat ini Daisy dan Aster sudah menginjakkan kaki mereka di lantai dasar mall, Daisy sudah berhasil menarik Aster menjauh dari keramaian dengan harapan bahwa langkah yang ia ambil adalah langkah yang tepat.
Ditengah langkahnya Aster tampak menoleh kearah Daisy, menatapnya lekat. Deru nafas Aster sudah jauh lebih baik sekarang tapi ia masih enggan untuk melepaskan genggaman tangannya.
Daisy tentunya mengambil langkah yang sangat baik, menarik Aster turun ke lantai bawah, menuju tempat dengan persentase pengunjung yang lebih sedikit, seolah dia tau dengan betul apa yang saat itu Aster takutkan.
Saat ini ntah kenapa Aster tak merasa khawatir, ia sama sekali tak takut jika pun Daisy mengetahui kelemahannya. Sangat aneh memang, Aster sudah menyembunyikan kekurangannya itu kepada setiap orang yang ia temui selama hidupnya, termasuk kepada Agung yang sudah bersahabat dengannya sejak SD. Tapi kali ini? Kali ini Aster membiarkan semuanya terjadi, seolah ingin menunjukan apa yang sebenarnya terjadi kepada Daisy, tanpa menutupinya. Aneh memang, tapi itulah yang sebenarnya terjadi.
Aster terus melajukan langkah sesuai arahan Daisy tanpa berniat untuk melepaskan genggaman tangannya, wajah Aster masih belum berpaling, dirinya masih menatap Daisy dengan sorot teduhnya, mengamati wajah Daisy yang kini terlihat menatap sekitar dengan wajah polosnya. Tanpa sadar senyum tipis muncul dibibir Aster, ia tersenyum tulus tanpa adanya alasan yang jelas.
Sadar sedang diperhatikan, perlahan Daisy mulai menoleh ke arah Aster, menatap bingung Aster yang saat ini tampak memperhatikannya dengan wajah datar.
Sungguh, sangat cepat Aster menetralkan ekspresinya.
Aster dengan cepat mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan penuh tanya yang Daisy lemparkan, beralih menatap pintu utama mall yang saat ini sudah ada di hadapan mereka tanpa berniat untuk melepaskan genggaman tangan satu sama lain.
“mau kemana?” Aster bertanya dengan suara yang lebih bernada, tak sedatar biasanya.
Hal itu tentu saja membuat Daisy cukup terkejut, menoleh kearah Aster dengan tatapan aneh.
“mau kemana?” ulang Aster lagi, kali ini ia bertanya sambil menatap wajah Daisy lekat-lekat, menyorotnya hangat.
Daisy mengembangkan senyumnya, ntah kenapa hatinya terasa hangat, dirinya merasa senang melihat Aster bersikap seperti ini. Tak sedatar dan sedingin biasanya.
“kita makan” seru Daisy antusias, lalu tanpa menunggu persejutuan dari Aster ia kembali menarik tangan Aster keluar dari mall, membawanya ke sebuah tempat makan yang sering ia datangi.
.
.
.
.
.
🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul [SELESAI]
Teen FictionHidup itu sederhana, layaknya membentangkan benang. Namun, kita lupa, diluar sana ribuan bahkan milyaran benang dibentangkan, hal itulah yang memperumit. Benang-benang saling bertemu dan membentuk simpul tak jelas, yang bahkan si pembentangnya pun t...