Daisy berdiri di depan jendela rumah nya dengan perasaan tak karuan, dengan ganas ia menggigiti kuku ibu jarinya sedangkan kedua bola mata nya menatap lurus jalanan di depan rumah.
hujan kembali turun, walau tidak terlalu lebat, tetapi tetap bisa membuat siapa pun yang menerobosnya basah kuyup.
Perlahan pandangan Daisy di alihkan, menatap masakannya yang sudah tersaji dengan rapi di atas meja makan, semua nya pasti sudah dingin. Walaupun perut Daisy sudah protes minta diisi sedari tadi, tetapi ia tetap menahannya, menunggu ayahnya pulang dan makan bersama.
Detik berikutnya Daisy menatap jam putih berbentuk bundar yang menggantung pada dinding di sampingannya, jam itu menunjukkan pukul lima lewat, sudah sangat sore tapi Ayahnya belum juga pulang.
Kini Daisy mulai bergerak khawatir, dalam situasi seperti ini pasti ayahnya akan nekat memakai sepeda dan menerobos hujan.
Daisy kembali menggigit kukunya khawatir, bagaimana jika ayahnya benar-benar menerobos hujan dan setelah itu jatuh sakit?.
Daisy terlihat mulai resah, dengan panik ia bergerak mondar-mandir di depan jendela, menimbang-nimbang hal yang selanjutnya akan ia lakukan.
Dengan cepat Daisy menghentikan pergerakannya, terlihat tertegun sesaat, lalu detik berikutnya ia menangguk pelan.
Saat dirasa yakin dengan keputusan yang akan ia ambil, tanpa fikir panjang, Daisy berjalan menuju ruang makan, memakai jas hujan berwarna kuning cerah miliknya yang sedari tadi ia simpan di sana untuk berjaga-jaga. Tak lupa ia mengambil jas hujan milik ayahnya, bergerak memeluknya erat.
Beberapa saat kemudian tubuh Daisy telah menyatu dengan rintikkan hujan, langkahnya seirama dengan jatuhnya air. Daisy memacu langkahnya dengan berlari-lari kecil.
Untungnya hujan kali ini tidak disertai guntur dan angin besar, jadi, Daisy bisa dengan tenang menikmati suara gemuruh air hujan yang beradu dengan jalanan, ia merasa tenang kala dingin nya air hujan menetes pada bagian tubuhnya yang tak tertutup jas hujan. Daisy terus berjalan dengan senyuman yang tak pernah hilang diwajahnya.
Beberapa saat berlalu, tanpa Daisy sadari ia sampai di sekolah nya dengan begitu cepat. Perlahan Daisy menatap gerbang hitam yang menjulang di depannya, pandangannya bergerak menyapu sekitar, mencari keberadaan Mang Mamat yang biasanya mendapat tugas untuk jaga malam.
"Mang Mamat!" Seru Daisy kencang saat kedua mata nya mendapati perawakan Mang Mamat yang berdiri tak jauh dari nya.
Mang Mamat tampak terkesiap kaget, terbukti dengan payung dan senter di genggamannya yang terlihat oleng. Dengan cepet Mang Mamat menoleh ke arah Daisy, menyipitkan matanya sesaat, lalu segera mendekat.
"Eh neng Daisy" Seru Mang Mamat ramah saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah "ada apa neng?" Tanya nya di balik gerbang.
"Ayah masih di dalem?" Tanya Daisy langsung ke inti, suaranya sedikit ia keraskan agar tak terendam oleh suara hujan.
Mang Mamat terlihat mengernyit bingung, "Pak Joko?" Tanya nya memastikan.
Daisy tampak menghela nafasnya "ya iyalah Mang, Ayah saya kan cuma satu"
"Eh iya. Tadi sih Mang Mamat liat Pak Joko sama Pak Dagus keluar gerbang naik mobil nya Bu Dewi. Kurang tau sih mereka mau kemana. Tapi, kayaknya ada hal penting" Jeda sesaat, Mang Mamat seolah baru teringat sesuatu "kalo gak salah sih tadi di kantor ada masalah neng. Pak Danang, yang guru olahraga itu, tiba-tiba ngundurin diri, mungkin pak Joko sama pak Dagus mau ikut sama Bu Dewi buat ngebujuk"
Daisy tampak mengangguk pelan, memaklumi kemungkinan yang baru saja Mang Mamat katakan. Daisy sudah tak asing lagi dengan permasalahan seperti ini, ia sudah sering mendengar dari Ayah nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul [SELESAI]
Teen FictionHidup itu sederhana, layaknya membentangkan benang. Namun, kita lupa, diluar sana ribuan bahkan milyaran benang dibentangkan, hal itulah yang memperumit. Benang-benang saling bertemu dan membentuk simpul tak jelas, yang bahkan si pembentangnya pun t...