10-Khawatir

23 2 0
                                    

Aroma menyengat minyak kayu putih memenuhi indra penciuman Daisy, ia mengernyit dengan mata yang masih tertutup sempurna, fikiran nya masih berusaha membaca keadaan. Di tambah lagi dengan keadaan tubuh nya yang terasa lemas, hanya jari-jari tangganya yang bisa di gerakkan.

Perlahan, Daisy membuka matanya, kembali mengernyit saat sorot cahaya lampu langsung menusuk pupilnya.

Dengan gerakan pelan Daisy mengedipkan matanya beberpa kali, mencoba untuk beradaptasi.

Detik berikutnya Daisy mengedarkan pandangan, mengamati ruangan ber cat serba kuning yang tak asing di penglihatannya. Ya, Kali ini Daisy ada di kamarnya, terbaring lemas di kasur dengan selimut yang menutupi setengah tubuhnya.

Daisy menyipitkan matanya, mencoba merangkai deretan kejadian yang terjadi beberapa saat lalu, berusaha mendapatkan alasan dibalik kondisinya sekarang.

Daisy memegangi pelipisnya, ntah mengapa rasa pening tiba-tiba saja timbul, membuat Daisy refleks mengubah posisinya, bergerak menyamping. Namun, Daisy kembali meringis pelan saat rasa nyeri timbul di punggung nya, rasa sakit itu semakin terasa walaupun Daisy hanya melakukan pergerakan kecil.

"... Makasih sudah antar Daisy"

Daisy mematung kala suara teduh Ayahnya terdengar dibalik pintu kamar, karna tak sanggup untuk melakukan banyak pergerakan, jadi, saat ini Daisy hanya bisa mematung sambil menajamkan indra pendengarannya.

"Daisy beneran gak bakal di bawa ke rumah sakit Pak? Gima..."

Lagi, Daisy tertegun, walaupun suara yang ia dengar terbilang samar-samar, tapi Daisy sangat tak asing dengan suara orang lain di balik sana, ia yakin orang yang kali ini tengah berbicara dengan Ayahnya adalah Aster.

Aster.

Tunggu.

Daisy baru ingat, ia baru ingat alasan dirinya terbaring lemas sekarang, dan hal itu ada sangkut paut nya dengan Aster.

Daisy mulai bergerak tak karuan, dengan sekuat tenaga ia berusaha bangkit dari posisinya, mau bagaimana pun Daisy harus menanyakan apa yang Aster lakukan di sekolah tadi.

"Eh, eh, eh. mau kemana..." Seru Joko panik, tubuhnya menyembul dari balik pintu. Dengan tergesa mendekati Daisy.

Walaupun erangan pelan terus terlontar dari mulut Daisy, tapi dia tetap teguh dengan pendiriannya, mencoba menahan rasa perih yang kian menjalar setiap tubuh nya melakukan pergerakan.

"Daisy. Mau kemana..." Joko kembali berucap dengan suara yang tak kalah paniknya.

"Aster..." Lirih Daisy pelan.

Sesaat Joko mengernyit bingung, detik berikutnya ia dengan cekatan menghalau pergerakan Daisy, menyuruh Daisy agar kembali merebahkan tubuhnya.

"Ayah..." Daisy kembali berucap lirih, "Daisy harus ngomong sama Aster" Lanjut Daisy dengan kedua tangan yang terus memberontak, berusaha melepaskan genggaman tangan Joko.

"Daisy... Dengerin Ayah" Bujuk Joko lengkap dengan sorot teduhnya,

Pergerakan Daisy perlahan melemah, sorot matanya kembali meredup, perlahan ia kembali terduduk di pinggiran kasurnya, memilih menunggu perkataan berikutnya yang akan keluar dari mulut Joko.

"Nak. Ayah tau kamu masih sakit, lagian kamu—" Joko tak melanjutkan ucapannya, kedua matanya bergerak mengamati Daisy, ia yakin putrinya itu masih sakit, ia harus menahan amarah nya untuk kali ini.

Perlahan, helaan nafas terdengar dari mulut Joko, "kamu perlu ke dokter?"

Dengan cepat Daisy menggeleng, menolak mentah-mentah apa yang baru saja Ayahnya itu tawarkan. Baginya, rumah sakit merupakan momok paling mengerikan dimana ia bisa dengan mudahnya mengingat momen paling penyakit kan, hari dimana Mama nya pergi.

Simpul [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang