Daisy duduk dikursi busa yang terlihat formal itu, matanya menatap lemari kaca yang dipenuhi deretan piala dengan pandangan kosong. Tidak, kepalanya bukan sibuk membayangkan seberapa hebat para kakak kelasnya berhasil mendapatkan piala itu. Kini, dia justru sedang mengalihkan pandangan dari lawan bicaranya, dari Bu Dewi tepatnya, sang wakasek kesiswaan di SMA PANUTAN ini.
Daisy tak takut di anggap tak sopan, dia sudah dekat dengan Bu Dewi, walaupun mungkin anggapan itu terdengar sedikit nyeleneh, tapi itu lah kenyataannya. Daisy bahkan sudah menganggap Bu Dewi seperti Ibunya sendiri, bukan tanpa alasan, semenjak mama nya meninggal, Bu Dewi seolah mengisi kekosongan yang ada di hati Daisy, walaupun kekosongan itu tak terisi seutuhnya, tapi setidak nya Daisy selalu merasa nyaman saat berada di dekat Bu Dewi. Karna itulah dia malas bersikap sok santun ataupun melontarkan basa-basi yang benar-benar basi.
"Daisy... " Bu Dewi berseru dengan suara lembutnya seperti biasa,
Saat ini Bu Dewi menggeser posisi duduknya, bergerak mendekati Daisy. Kedua telapak tangannya menangkub diatas lengan kanan Daisy, meremas nya pelan.
Daisy dengan cepat menghindar, tangan kanannya ia tarik cepat dan dibiarkan menggantung diudara. Ia menoleh, menatap Bu Dewi tak percaya.
"Kenapa Bu?, kenapa Ibu gak bela Ayah?. Ayah gak mungkin ngelakuin hal kayak gitu Bu, gak mungkin" Daisy berucap, masih pada posisi yang sama, hanya bola matanya yang bebas bergerak.
"Nak," Bu Dewi kembali berusaha menggenggam tangan Daisy, namun nihil, usaha nya tetap sia-sia, Daisy kembali menghindar "Ibu gak bisa apa-apa. Ini sudah menjadi keputusan kepala sekolah. Ibu... "
Daisy meremas kuat rok nya, menggertak kan giginya berusaha menahan emosi. Keningnya berkerut, bahkan kedua bola matanya sudah mulai memanas, cairan bening itu sudah mulai terkumpul di pelupuk matanya, bersiap jatuh walau hanya dengan satu kedipan.
Daisy bangkit. Percuma ia diam disini, tak akan ada yang berubah, keputusan kepala sekolah telah mutlak, tak bisa di ganggu gugat.
Daisy melangkah pergi tanpa pamit, mengacuhkan seruan Bu Dewi dibelakang sana.
Perlahan Daisy mendekati pintu coklat dengan tulisan R.Wakasek itu, bergerak menyentuh knop pintu. Namun, sebelum ia berhasil menariknya, seseorang juga mendorong pintu dibalik sana, membuat Daisy refleks mundur beberapa langkah.
Pak Diro, sang kepala sekolah muncul dibalik daun pintu, menatap Daisy dengan wajah datar nya. Tanpa aba-aba Daisy kembali menarik kenop pintu, membuatnya terbuka lebar, dan menyelinap pergi tanpa kata.
Suasana lorong saat ini terbilang sepi, bel pertanda jam pelajaran ke tiga telah berbunyi sedari tadi, hanya derap langkah cepat Daisy yang terdengar di sepanjang koridor.
Daisy berbelok, lalu langkahnya terhenti, menatap lekat pintu dengan tulisan ruang guru di atasnya, kepalan tangan Daisy semakin kuat, perlahan ia menarik nafasnya dalam, berusaha menetralkan kerutan di dahi nya, ia harus tenang.
Daisy melangkahkan kakinya kedalam ruangan dengan wajah datar, ia tak mempedulikan para guru yang menatapnya heran, ia juga tak menghiraukan senyuman palsu beberapa guru yang membuatnya muak, mereka hanya pura-pura prihatin pastinya, dan Daisy benci di kasihani.
Daisy terus berjalan kedalam ruangan, tujuannya hanya satu, menghampiri Ayah nya yang tengah mengemasi semua barang yang ada di atas mejanya.
Beberapa guru tampak mengerubungi Ayah nya, memperhatikan apa yang sedang Ayah nya lakukan sambil sesekali melontarkan ucapan yang pasti nya hanya omong kosong. Daisy tau, dia tak bodoh, dia bisa membedakan mana orang yang sok peduli dengan orang yang benar-bener tulus. Sayang nya, saat ini Daisy tak bisa menemuka orang yang benar-benar terlihat tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul [SELESAI]
Teen FictionHidup itu sederhana, layaknya membentangkan benang. Namun, kita lupa, diluar sana ribuan bahkan milyaran benang dibentangkan, hal itulah yang memperumit. Benang-benang saling bertemu dan membentuk simpul tak jelas, yang bahkan si pembentangnya pun t...