4-Tanpa Ada Alasan

168 8 2
                                    

Selama perjalanan kedua bola mata Daisy terus bergerak tak nyaman. Daisy gugup, tentu saja. Bayangkan, kalian dibonceng oleh orang yang sudah dikenal selama lebih dari lima belas tahun, tapi selama itu kalian sama sekali belum pernah berkomunikasi.

Bisa dibilang, saling mengenal tapi saling menghindar tanpa alasan. Entah lah Daisy pun tak tau alasan mengapa dia selalu menghindar saat bertemu Aster. sejauh yang Daisy ingat, Aster lah yang selalu mencampak kan nya, bersikap cuek, dan tak pedulian.

Namun, Daisy lupa bahwa hal itu hanya terjadi kepadannya, Aster tidak begitu kepada teman-temannya yang lain.

Daisy menghela nafas untuk kesekian kalinya, entah mengapa kali ini perjalanan pulang kerumahnya terasa lebih lama, padahal letak sekolah dan rumahnya hanya berjarak kurang dari dua kilo meter saja.

Daisy menunduk, aspal masih basah dengan genangan air dimana-mana. Walaupun hujan sudah reda sedari tadi, tetapi matahari tetap saja bersembunyi.

Dilain sisi, Aster mengemudi dengan wajah datar nya, seluruh fokusnya ia kerahkan pada jalanan di depan sana, berlaga seolah tak ada orang lain yang duduk di jok belakang motor nya.

Sampai saat ini, tak ada percakapan yang terjalin antara Aster dan Daisy, mereka saling diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Ntah karena tak ada topik pembicaraan atau memamang sulit bagi mereka untuk mengucapkan sesuatu, jika pun itu hanya sapaan.

Beberapa saat kemudian Daisy menatap sekitar, lalu bernafas lega, sebentar lagi mereka sampai. Detik berikutnya Daisy kembali tertegun, kenyataan bahwa rumahnya lebih jauh beberapa meter daripada rumah Aster kini mengganggu pikirannya, walaupun rumah mereka hanya berjarak beberapa meter, tetapi tetap saja Daisy tidak ingin terlalu merepotkan.

Daisy menatap punggung Aster, mulutnya sudah setengah terbuka, hendak mengatakan sesuatu. Namun, untuk kesekian kalinya ia mengurungkan niatnya, kembali menelan bulat-bulat apa yang hendak ia ucapkan. Dengan cepat Daisy mengalihkan pandangan, mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menarik nafas perlahan

“di sini aja seru Daisy sambil menepuk pundak Aster. ia akhirnya bersuara setelah beberapa saat mengumpulkan keberaniannya.

Aster menekan rem cepat,

mereka berhenti tepat di depan rumah Aster, rumah megah ber cat serba putih yang di kelilingi pagar hitam menjulang.

Berbeda dengan rumah disebelahnya, rumah Daisy sangat sederhana, ukurannya bisa dibilang hanya seperempat dari rumah Aster, halaman rumahnya hanya dilindungi oleh pagar bambu biasa dengan berbagai macam bunga merambat yang tumbuh disekitarnya.

Dengan gerakan kikuk Daisy meloncat turun dari sepeda motor Aster. kedua bola matanya pura-pura sibuk menatap sekitar, bingung harus berbuat apa.

Tak lama, suara mesin motor Aster kembali terdengar. Aster membelokkan vespa maticnya menuju pekarangan rumahnya, bibirnya seolah terkunci, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari sana.

Daisy memperhatikan kepergian Aster dalam diam, matanya menatap lekat punggung Aster yang mulai menjauh. 

makasih Aster ucap Daisy pelan,

Mungkin rasa terimakasih itu lebih tepat jika ditujukan kepada udara disekitar tubuh Daisy, ucapan Daisy sangat pelan, sangat mustahil Aster mendengarnya.

Daisy tersenyum tipis, perlahan ia membalikkan tubuhnya, dan mulai melangkah menuju rumahnya.

Dilain sisi, kini Aster mulai masuk ke pekarangan rumah nya, memarkir kan motor vespa nya di tempat biasa.

Perlahan Aster menghela nafas panjang, merasa lega karena akhirnya bisa keluar dari suasana canggung tadi. Agak sedikit kekanak-kanakan memang, tapi ntah kenapa rasanya sulit bagi Aster untuk berkomunikasi dengan Daisy.

Simpul [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang