44-Luka dan Lara

5 1 0
                                    

Daisy mendekati Dito dengan langkah tertatih, dengan raut khawatirnya ia kembali memastikan keadaan Dito pada jarak yang lebih dekat.

“neng ini temennya?” tanya seorang pria paruh baya yang memang berada pada barisan terdepan kerumunan

Daisy merespon pertanyaan itu dengan anggukan panik, ia sama sekali belum pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya,

“iya, dia kakak kelas saya” jawab Daisy dengan mata yang masih terfokus kearah Dito.

Dilain sisi, Dito sama sekali tak sadar dengan keadaan disekelilingnya, bahkan suara klakson kendaraan yang berpadu dengan seruan orang-orang sekitar pun tak terdengar olehnya. Telinga Dito tiba-tiba dibuat tuli, pandangannya pun dibuat mengabur. Hanya ada satu hal yang saat ini bisa Dito sadari kehadirannya, Darah.

Tubuh Dito semakin bergetar hebat kala rasa perih dan tetesan darah itu membawanya kembali mengingat kejadian dimasa lalu, kejadian mengerikan yang selalu ingin Dito singkirkan.

Situasi seperti ini terasa begitu familiar diingatan Dito, Luka yang sama, darah yang sama, ketakutan yang sama. Hanya satu hal yang berbeda, tangannya yang sekarang sudah tak lagi semungil dulu.

“kak” seru Daisy pelan, berusaha memastikan keadaan Dito.

Sesaat, bayangan masalalu itu menghilang saat seruan Daisy terdengar. Namun, itu hanya sesaat, detik berikutnya bayangan-bayangan mengerikan yang lainnya mulai bermunculan secara bertubi-tubi, seolah tengah menyerang Dito tanpa ampun.

Mendapati hal mengejutkan yang diluar dugaan, tanpa sadar tubuh Dito semakin lemas, kedua bola matanya pun mulai bergetar. Bahkan kilasan masalalu yang tak diundang itu sukses membuat kepala Dito terasa berat, kepalanya mulai berdenyut dibeberapa titik seperti tengah ditusuk oleh benda tajam.

Hal itu membuat Dito tak karuan dan mulai tak terkendali, rasa perih ditangannya bahkan sudah tak terasa karena saat ini sakit dikepalanya terasa lebih hebat. Dengan kekuatan penuh Dito mulai memukul-mukul kepalanya, berharap bahwa apa yang ia lakukan itu akan menghilangkan bayangan masalalu dan mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.

Sementara itu, saat ini kedua mata Daisy semakin membelakak saat mendapati Dito mulai menyakiti dirinya sendiri, dengan susah payah Daisy berusaha menghalau gerakan tangan Dito yang berniat kembali melayangkan pukulan untuk yang kesekian kalinya.

Walaupun sebenarnya kekuatan Daisy kalah jauh dengan tenaga Dito, tapi setidaknya Daisy bisa menghalau beberapa pukulan agar tak mendarat di kepala Dito. Sesekali Daisy tampak meringis kesakitan saat pukulan Dito melayang ke tangan dan kepalanya. Rasa sakitnya tidak seberapa memang, tapi jika terus terulang tentu saja meninggalkan rasa sakit yang luar biasa, bahkan pukulan itu kembali membangkitkan rasa sakit dipunggung Daisy.

Melihat Daisy yang mulai kewalahan, satu-persatu orang mulai mendekat, membantu menghalau pergerakan Dito yang masih saja berusaha memukuli kepalanya. Beberapa orang bahkan menarik Daisy agar menjauh dari jagkauan Dito, tentu saja mereka merasa miris saat melihat tubuh mungil Daisy menghalau pergerakan laki-laki se bugar Dito.

“ini kepala kakak kelas saya gak kebentur kan?”

Tanya Daisy setelah tubuhnya itu ditarik menjauh dari Dito, Daisy menyerukan pertanyaan tanpa tujuan yang jelas, ia berniat bertanya kepada semua orang yang mengetahui keadaan Dito.

“gak luka serius, cuma tangannya yang luka” jawab pria baruh baya yang tampak menggenggam helm Dito “sudah di cek tadi, kepalanya baik-baik aja. tapi dia gak bisa ditanya, mungkin luka dalam” lanjutnya lagi.

Daisy dibuat semakin panik, kericuhan disekelilingnya membuat Daisy semakin tak bisa berfikir jernih “udah ada yang nelepon ambulan?”

“masih dijalan” seruan itu terdengar ntah dari mana.

Daisy tampak menghela nafas kasar, kecewa dengan jawaban yang baru saja ia dengar.

Perlahan Daisy bangkit dari posisinya, bergerak kembali mendekati Dito yang masih berusaha menyakiti dirinya, tenaga yang ia keluarkan pun semakin ganas, ia berusaha menyingkirkan kengkraman-cengkraman kuat yang menghalangi pergerakannya.

Daisy dibuat semakin tak karuan, dirinya benar-benar tak bisa berfikir jernih, ia sama sekali tak tau apa yang saat ini harus ia lakukan. Suara bising disekitarnya pun semakin menjadi, kendaraan semakin menumpuk membuat kemacetan yang sulit diatur.

Perlahan Daisy menangkupkan kedua tangannya didepan dada, hal sederhana yang selalu ia lakukan dikala panik untuk mendapatkan jalan keluar. Perlahan Daisy memejamkan matanya, fokus dengan dirinya sediri dan mengabaikan keadaan sekitar. 

“kadang... gak semua hal yang keras harus dibalas keras, kadang ada beberapa hal yang butuh ketenangan, butuh perhatian, atau kasih sayang”

Rentetan kata-kata mama Daisy terputar dikepalanya secara tiba-tiba, untuk saat ini, sepertinya Daisy tau apa yang harus ia lakukan.

Dengan cepat Daisy membuka matanya, kembali pada kenyataan. Kedua mata Daisy langsung terhunus kearah Dito yang masih berusaha memberontak, berusaha melepaskan cengkraman beberapa warga yang mulai melemah.

Perlahan Diasy kembali mendekat kesamping Dito, berusaha menyingkirkan beberapa tangan yang menghalang pergerakan Dito, berusaha memastikan kepada orang-orang itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Setelah tangan-tangan itu melepaskan cengkramannya, tanpa fikir panjang Daisy membawa Dito dalam dekapannya, memeluknya begitu erat dengan harapan bahwa Dito akan berhenti menyakiti Dirinya.

Untuk beberapa saat tak ada yag berubah, Dito malah semakin ganas memukuli punggung Daisy, berusaha melepaskan diri dari pelukan Daisy. Daisy tak menyerah, dengan sekuat tenaga ia menahan pergerakan Dito, memeluknya semakin erat.

Selang beberapa saat tak ada yang berubah, justru pukulan yang dilayangkan Dito kepada Daisy semakin menjadi. Hal itu tentu membuat Daisy semakin kewalahan, tubuhnya pun semakin lemas, sudah tak sanggup menahan pergerakan Dito.

Dititik terakhir pertahanannya, dengan lirih Daisy berbisik tepat ditelinga Dito, mencurahkan apa yang ingin ia katakan.

“kak Dito, aku mohon, stop. Jangan nyakitin diri kakak sendiri...” lirih Daisy diikuti isakan pelan,

Detik berikutnya isakan Daisy semakin menjadi, ia menangis tanpa alasan yang jelas. Ntah karena khawatir akan keadaan Dito atau justru karena rasa sakit yang mulai terasa diseluruh tubuhnya.

Isak tangis Daisy sukses meruntuhkan pertahanan Dito, tangisan Daisy seolah membawa Dito kembali kedunia nyata, suara bising jalanan perlahan mulai terdengar, bersamaan dengan melemahnya pukulan yang Dito layangkan.

Butuh waktu cukup lama bagi Dito untuk menyadari bahwa saat ini ia tengah berada didekapan seorang wanita, Dito sama sekali tak pernah merasakan pelukan seperti ini, pelukan hangat yang ketulusannya bisa ia rasakan. Untuk pertama kalinya ia merasa dipedulikan oleh orang lain. Terasa asing memang, tapi sangat nyaman.

Perlahan Dito mendongakkan wajahnya, berusaha memastikan orang yang saat ini tengah memeluknya. Setelah gambaran wajah itu terlihat, Dito sontak membulatkan matanya, tak menyangka bahwa wanita yang saat ini tengah memeluknya adalah Daisy.

Keterkejutan Dito hanya sampai disitu karena detik berikutnya Dito kembali dilanda rasa pening, dirinya sudah kehilangan banyak darah dan tanpa Dito sadari ia mulai kehilangan kesadaran.




.

.

.

.

.


🌼🌼🌼

Simpul [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang