Kenangan

205 15 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri.  Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.

Selamat membaca ini dan selamat menikmati cerita ini. Semoga kalian suka dengan cerita ini.
Terima kasih.

•••

Langit mendung ditemani rintik hujan yang perlahan menyentuh bumi. Riuh rendah terdengar sepanjang koridor sekolah. Aku tidak menyukai rintik hujan, walaupun tidak deras. Namun, mampu membuat kepala pusing bahkan bisa demam kalau imun tubuh sedang turun.

Selain itu, aku juga tidak menyukai menunggu. Siapa yang suka menunggu? Kegiatan yang membosankan dan membuat tensi darah naik kalau yang ditunggu lamanya kebangetan.  Sungguh menyebalkan. Seperti sekarang, duduk di halte menunggu bus, yang entah kapan akan datang menghampiri. Kayak nunggu gebetan, yang entah kapan datang untuk menyatakan cinta. Miris.

Kemungkinan terburuknya bus hari ini tidak beroperasi. Terlihat di sebelah barat, langit hitam seperti sedang hujan deras. Jika sudah hujan deras mengguyur, bisa jadi ada pohon tumbang atau banjir. Daerah barat dari  sekolahku ini memang memiliki dataran yang lebih rendah dan juga banyak pohon besar sepanjang jalan Kenanga. Bukan jalan kenangan. Lama memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, sampai tak sadar ayah datang menjemput dengan motor tua miliknya.

"Maria, Sabra ayo pulang," ajak ayah sambil menghampiri kami di halte.

"Ayah antar aku pulang lebih dulu."
Aku langsung bergegas naik ke motor ayah.

****

Hari Minggu, hari paling dinanti. Namun, semua rencana untuk rebahan harus gagal.

"Maria, sini bantu ibu beres-beres rumah!" titah ibu dari balik pintu kamar.

"Mengapa ibu menyuruh Maria. Anak ibu bukan cuma satu. Masih ada kak Sabra."
Aku tentu saja tidak terima, jika hanya aku saja yang disuruh.

"Kakakmu sedang demam Sabra, jadi kamu yang harus menggantikannya."

Aku memberenggut kesal mendengar jawaban ibu. Sudah dipastikan kalimat ibu adalah kalimat sindiran tersirat. Selama ini memang Kak Sabra yang sering membantu ibu. Kak Sabra yang rajin, suka menabung, dan patuh sama orang tua. Berbanding terbalik denganku.

Sudah dipastikan aku tidak bisa melawan, aku pergi ke dapur mengambil sapu. Menyapu lantai dapur lalu melanjutkan di ruang tamu. Aku dapat melihat dua sosok remaja berbeda jenis kelamin yang sedang duduk di sofa. Aku tak menghiraukan kedua orang itu, yang terpenting sekarang adalah harus cepat selesai menyapu.

Setelah menyapu bagian teras rumah, aku berpapasan dengan orang yang berada di ruang tamu tadi. Dia Ozzy. Dia tersenyum tipis dengan kepala sedikit mengangguk. Aku melengos melewatinya tanpa ikut tersenyum. Suasana hatiku sedang buruk. Walaupun bertemu dengan seorang yang bisa dikatakan orang yang terkenal di sekolah kami. Tetap saja bagiku tidak mampu memperbaiki, malah rasanya membuat kobaran api dalam hati.

"Katanya demam, kok duduk di luar?" tanyaku dengan sengaja.  Aku langsung melewati Kak Sabra yang hendak memasuki kamarnya.

Kebanyakan dalam saudara kandung yang berjenis kelamin sama biasanya memang satu kamar. Apalagi yang memiliki kamar tidak mencukupi. Namun, berbeda dengan kami. Seharusnya kami bisa satu kamar karena awalnya hanya terdapat dua kamar saja di rumah kami ini. Lagi-lagi aku menolak sekamar sejak masuk SMA. Ayah terpaksa membongkar ulang kamar yang biasa kami tempati sejak kecil. Dari satu kamar dibuat menjadi dua kamar. Jadilah kamar yang seharusnya ukuran untuk satu kamar, menjadi dua kamar yang sempit.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang