Perjuangan Cinta yang Sia-Sia

46 5 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri.  Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.

Selamat membaca ini dan selamat menikmati cerita ini. Semoga kalian suka dengan cerita ini.
Terima kasih.

•••

Di sebuah rumah sakit besar terdapat seorang gadis yang baru saja tersadar dari masa tidur panjangnya, atau sudah berhasil melewati masa komanya.

"Hari ini kita putus!" ucap Farel dengan wajah datarnya.

Aku tidak habis pikir dengan pria yang ada di depanku ini, dengan mudahnya ia mengucapkan kata putus, sementara aku lagi dalam masa pemulihan. "Tapi, alasannya apa? Aku berjuang selama lima tahun, tapi ini yang kudapatkan?" tanyaku sembari meraih tangannya.

Setelah berhasil kugenggam tangannya, sontak ia langsung menariknya kembali, hingga aku hampir saja terjatuh dari brankar yang kutempati.

"Gak ada alasan, yang pasti aku sih tetap mau putus!" jawabnya dengan nada dingin. Setelah itu ia pergi meninggalkanku sendiri.

'Gak habis fikir Aku, Rel. Ternyata kamu memang tidak menghargai segala perjuanganku,' batinku yang diiringi tetesan air mata membasahi pipi putihku itu.

***

Kini aku dinyatakan sudah bisa kembali ke rumah. Tidak ada raut wajah bahagia yang menghiasi hari-hariku, sehingga membuat kedua orang tuaku pun tampak khawatir.

Ibu berjalan menghampiriku yang tengah duduk di kursi sembari memasang sepatu. Hari ini aku sudah bisa kembali ke sekolah. "Nak, ini bekalnya, jangan lupa dimakan, ya!" ucapnya sembari mengelus lembut rambut sebahuku itu.

"Iya, Mah," jawabku sembari menerima kotak bekal itu. "Nanti siang, mungkin Ana akan telat pulang, Mah, gapapa 'kan?" lanjutku dengan nada bertanya sembari meraih tangannya untuk kusalimi.

"Iya, gapapa. Hati-hati ya, Nak," jawabnya. "Kenapa perasaanku tidak enak begini," lanjutnya lagi dengan mengelus kasar dadanya itu.

•••

Setelah sampai di sekolah, terlihat orang-orang tengah menatapku dengan penuh kasihan. Entah apa yang terjadi di sekolah ini selama enam bulan yang lalu.

Aku kini memasuki ruangan kelasku. Terlihat teman-temanku pun menghampiri sembari mengucapkan selamat, tetapi tidak dengan sahabatku yang satunya.

Dia terlihat seperti orang yang tengah ketakutan, tetapi aku tidak ambil pusing soal itu. Kini aku berjalan ke arah bangku milikku sendiri. "Ta, boleh pinjam buku catatannya?" izinku sebelum mengambil bukunya.

"A-a iya, iya boleh!" gugupnya. Terlihat dari wajahnya sudah seperti mayat hidup.

'Octa kenapa, ya? Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu,' batinku dan menatap Octa penuh selidik.

Kini kuraih buku catatan Octa dan menyalin beberapa tulisan itu. Sedangkan Octa, ia masih asyik berbicara dengan siswi yang ada di sampingnya.

"Sayang, yok ke kantin!" ajak Farel kepada Octa. Kudengar sayup suara Farel, yang di mana panggilan itu berlaku hanya untukku saja. Namun yang lebih membuatku heran, ia menggunakan panggilan itu kepada sahabatku--Octa.

Sekejap manik mata Octa menatap ke arahku, dengan rasa bersalah. Pikiranku mulai berprasangka buruk kepada Octa. Namun, itu semua langsung kutepis sesegara mungkin.

Sedikit senyum tipis terbit dari bibirku, lalu berkata, "Gapapa, kamu duluan saja, nanti aku nyusul." Aku berucap bak tidak memiliki perasaan apa-apa lagi, padahal jauh di dalam hatiku terdapat rasa sakit yang sebisa mungkin kutahan, agar aku tidak dikatakan lemah dan cengeng.

Seketika Farel langsung menatapku dengan raut wajah kaget, ia menatapku dengan tatapan datar. Namun, kubalaskan dengan senyum tulus, yang membuat hatinya langsung luluh.

Demi menyelamatkan hatiku dari luka yang kubuat sendiri, aku memilih untuk berlari keluar dari area sekolah.

Air mata yang sedari tadi kutahan, kini luruh sendirinya bersamaan dengan tetesan air hujan. Sepertinya langit tahu bahwa aku tengah menangis.

"Gak ... ini gak mungkin, sahabat yang kuanggap sebagai saudara sendiri, kenapa dia menusukku dari belakang," ucapku dengan sendu, seragam yang tadinya kering, kini sudah basah kuyup. "Ini gak mungkin!" teriakku sebisa mungkin.

Tanpa kusadari, sebuah minibus melaju dengan kecepatan tinggi dari arah belakang. Sepertinya mobil itu tengah mengalami rem blong.

Dengan kekuatan cepat, minibus itu pun langsung menabrak tubuhku. Aku pun terhempas jauh ke atas sebelum jatuh ke tanah.

'Mungkin ini akhir dari perjuangan cinta yang kujalani,' batinku. Darah segar kini keluar dari beberapa luka yang kualami, sayup suara minta tolong sudah tidak terdengar.

Beberapa warga kini melarikanku ke rumah sakit, hingga pada akhirnya aku pun dibawa ke ruang tindakan.

Terlihat ibuku tengah menangis sesenggukan di dalam pelukan ayahku. Sedangkan di dalam ruangan, terdapat dokter dan beberapa suster tengah bersusah payah untuk mengembalikan detak jantungku.

Namun, nihil usaha sang dokter pun sia-sia. Aku pun pergi dengan tenang bersama beban yang kualami semasa menjadi kekasih dari Farel.

Kabar demi kabar kini terdengar di telinga Farel. Mendengar kabar kematianku dari Octa, sontak Farel langsung datang ke rumah dan memastikannya sendiri.

"Assalamu'alaikum, Tante." Farel menerobos masuk ke dalam rumah. "Wa'alaikumussalam, eh, Nak Farel!" jawab ayahku.

"Ana mana, Om?" ucap Farel yang menanyakan keberadaanku. Tanpa pikir panjang ayahku pun langsung menuntun Farel masuk ke dalam rumah, sembari memperlihatkan acara pengajian tiga hariku itu.

Kini rasa sesal tengah dialami Farel, ia terlihat tidak ikhlas akan kepergianku untuk selama-lamanya. Berbulan-bulan Farel mengurung dirinya di kamar, tanpa mau keluar sama sekali, bahkan kedatangan Octa pun tidak berpengaruh.

Setelah satu tahun kepergianku, kini Farel masih terlihat sedih, dan pada akhirnya ia depresi akan kehilangan sosok diriku.

TAMAT.

Nama: Marlina
Jumkat: 779

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang