Aku Tahu Mereka Ada

65 6 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri.  Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.

Selamat membaca ini dan selamat menikmati cerita ini. Semoga kalian suka dengan cerita ini.
Terima kasih.

•••

#Cerpen
#Genre_Horor

Katanya, di bumi ini hanya untuk para manusia, hewan, dan juga tumbuhan. Kenyataannya ada hal yang tak mampu dilihat banyak pasang mata, terjadi di luar nalar, dan banyak dari mereka yang tidak percaya. Sudut pandang mana yang mampu menjelaskan keberadaan mereka yang tak kasat mata?

Namanya Tania Lestari, gadis berdarah Sunda ini berumur tujuh belas tahun. Duduk di bangku SMA, tepatnya di Kota Bandung. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini adalah sosok yang cerewet. Seseorang yang begitu penakut, mudah menangis, dan banyak tingkah. Namun, ada sebuah bahkan banyak peristiwa yang sudah mengubah sosok penakutnya menjadi begitu berani.

Berawal dari sebuah malam, ketika ketiga temannya mengajak Tania untuk keluar. Mereka berempat pergi untuk nongkrong karena kebetulan malam itu adalah malam Minggu.

"Tan, lu mau 'kan makan di sini?" tanya Zea, gadis berambut pendek itu, karena tahu bahwa temannya itu selalu memilih ketika makan.

"Gak sih, gua fine-fine aja makan di sini, lagian apa aja gua makan. Lebay lu!" Jawaban Tania membuat kedua temannya yang lain tertawa, namanya Laura dan Vina.

Setelah berbincang soal tempat, akhirnya mereka memesan empat porsi bakso. Zea, Laura, dan Vina sangat menikmati bakso yang telah datang, sedang Tania sedikit tidak enak hati dan beralih pandangan pada meja sebelah kiri tempat ia duduk.

"Ze, kasian, ya, cewek itu pucet banget?" Tania berujar kepada temannya, tentang wanita yang ia lihat dengan wajah pucat. Seperti di film horor saja, pikir Tania.

"Lu ngarang, Tan? Mana ada cewek," sahut Zea dengan pandangan aneh.

Wanita yang Tania lihat kini memandangi Tania, matanya seperti sangat lelah, menunduk seakan penuh rasa sedih. Lalu, dalam hitungan detik dari pandangan Tania, sosok itu hilang entah ke mana. Tania terkejut. Jika ini halusinasi, kenapa begitu jelas?

Beberapa menit kemudian, hingga berganti jam mereka pun pergi dari tempat itu. Karena tidak ingin kena omelan para orang tua, mereka pun pulang ke rumahnya masing-masing. Sesampainya di rumah, Tania masih memikirkan soal siapa wanita tadi.

"Apa gua cuma halu, ya? Kok jelas banget." Dia mengumpat berharap bahwa dirinya hanya berhalusinasi.

Mungkin karena lelah, ia pun tertidur begitu lelap. Hingga tak terasa jam pun menunjukkan pukul enam pagi. Tania bergegas berangkat ke sekolah dan melewatkan sarapan.

"Bun, Nia berangkat, ya, takut telat. Assalamu'alaikum." Ia berpamitan kepada bundanya, lalu pergi dengan tergesa-gesa.

Sesampainya di sekolah, Tania mendengar suara tangisan. Namun, wujudnya tak terlihat. Pagi itu ternyata sekolah masih agak sepi, Tania melangkah menuju ke ruang kelasnya untuk duduk. Lalu, ia memainkan handphone-nya tanpa menggubris apa pun.

Ruang kelas begitu hening, pagi itu begitu sepi tak seperti biasanya. Rambut Tania sedikit berayun karena angin yang masuk. Sementara itu, di telinga kanannya ia mendengar bisikan yang membuat bulu kuduknya merinding.

"Tolong!" Seperti suara gadis yang kesakitan, meminta pertolongannya. Tania kebingungan. Sumber apa yang ia dengar tak nampak di hadapannya.

"Lu siapa? Gak usah bercanda, gua gak suka," ucap Tania, sembari menghentakkan kedua tangannya pada meja.

Beberapa detik kemudian, ia beralih pandangan pada sudut kelas, tepatnya di dekat jendela. Matanya seperti bermimpi, melihat banyak sosok yang sebelumnya belum pernah ia temui. Sosok wanita berseragam, laki-laki tinggi berbaju seperti guru, serta sosok nenek dengan wajah penuh darah.

"Kalian siapa?" Tatapan Tania semakin tajam, jantungnya berdetak kencang lebih dari biasanya. Air mata menetes dan badannya yang mulai panas dingin.

Lima menit berlalu, Tania mulai merasa tenang. Sosok-sosok seram mulai hilang dari pandangan, ia pun kembali duduk dengan perasaan yang sangat campur aduk. Seperti mimpi, tetapi bukan. Seperti halusinasi, tetapi nyata.

"Assalamu'alaikum, pagi pren!" Suara Zea memecahkan lamunan Tania. Kedatangannya sedikit membuat Tania merasa lega, selepas ia sedari tadi menghabiskan waktu sendirian.

"Wa'alaikumussalam, pagi bestie. Tumben lu telat, gua sendiri tau," balas Tania dengan bibir yang dimanyunkan, membuat matanya seperti terjepit pipi.

Beberapa jam berlalu, hingga jam pelajaran tiba, waktu istirahat pun usai. Akhirnya yang ditunggu para murid adalah jam pulang. Tania memutuskan untuk pulang bersama Zea, menaiki angkutan umum yang telah mereka tunggu.

"Tan, Mama gua sakit. Gua jadi gak bisa ke mana-mana kalau habis pulang sekolah, sorry ya." Wajah Zea nampak sedih dan membuat Tania juga ikut sedih.

"Sakit apa? Gua ke rumah lu sekarang, ya. Gua mau jenguk Mama lu, udah lama juga. Tapi, gua gak bawa apa-apa, gak papa 'kan?" Seperti ada angin yang membuat Tania ingin ikut ke rumah Zea, entah apa itu.

"Nanti Bunda lu nyari, gimana? Gak usah bawa apa-apa, Mama pasti seneng kalo lu dateng," ucap Zea.

Angkutan umum yang mereka naiki kini berhenti, karena tujuan kedua gadis itu sudah sampai.

"Assalamu'alaikum," ucap kedua gadis yang masih berseragam itu

"Wa'alaikumussalam, Nak. Ada Neng Nia, apa kabar cantik?" Sembari menerima kedua tangan yang menyalami dirinya, Bu Tika bangkit dari tempat tidur.

"Alhamdulillah kabar Nia baik, kata Zea Mama sakit ya, Mama sakit apa?" Tania melontarkan pertanyaan kepada wanita yang ia dan Zea sebut mama itu.

"Mama cuma gak enak badan," jawabnya sembari tersenyum.

Tiba-tiba ada hal yang muncul dalam pikiran Tania dan ingin sekali ia tanyakan pada Bu Tika.

"Mama kemarin ikut pemakaman, terus Mama pulang magrib. Begitu, Ma?" Tania bertanya, seakan tahu semua yang telah dialami Bu Tika.

"Betul, Nak. Mama kemarin ke pemakaman tetangga. Mama buru-buru karena kemarin takut tertinggal salat Magrib, waktunya 'kan sebentar," sahut Bu Tika.

"Kok, lu tau sih, Tan?" tanya Zea dengan raut wajah yang begitu aneh.

"Gua nebak aja, Zea. Gua pamit ya, maaf gak bisa lama." Tania begitu takut menjawab pertanyaan dari sahabatnya.

"Mama, Nia pulang dulu, takut Bunda nyari," lanjutnya, berujar kepada Bu Tika.

"Ma, Ze, pamit ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, hati-hati," ucap keduanya

***
Keesokan harinya badan Tania panas, kepalanya terasa pusing. Sejak kejadian beberapa hari ke belakang yang ia alami, keadaannya tak pernah terasa baik.

Suara ketukan pintu kamar Tania, membuatnya terbangun dari tidur.

"Masuk, Bun." Tania tahu yang mengetuk pintu adalah sang bunda tercinta.

"Nia udah enakan? Mending kamu Bunda bawa ke dokter aja, ya?" tanya Bunda pada anaknya.

"Gak usah, Bun, Nia gak kenapa-napa, kok," jawabnya sembari melempar senyuman.

"Tapi, Bunda khawatir, Nia," ujar wanita itu.

Suara Bunda menjadi samar, pandangan Tania pun menjadi buram. Telinganya tiba-tiba terasa sakit sekali, kepalanya pun begitu panas.

"Sakit, Bun, Astaghfirullahal'adzim!" Ia berteriak begitu kencang, matanya melihat sosok pria tua di belakang sang bunda.

"Istighfar, Nak, ingat Allah, istighfar!" ujar bunda sembari menggoyangkan badan anaknya.

Tania tidak sadarkan diri, jiwanya terbawa pada alam lain. Tertidur di hadapan banyak orang, tetapi ia sedang berada pada dimensi lain yang begitu aneh.

"Ka-kamu ... kamu kakek yang tadi, 'kan?" tanya Tania sembari menunjuk sosok yang ada di alam itu. Ia begitu ketakutan.

"Jangan takut, Nak, ini Abah. Abah hanya ingin memberitahu sesuatu." Pria tua itu mendekati Tania, merangkulnya agar merasa tenang.

"Aku di mana?" Tania bertambah takut.

"Tidak perlu tahu, Cucuku. Abah hanya ingin berpesan, jangan merasa takut dengan apa yang selalu kamu lihat, jangan takut dengan apa yang selalu kamu dengar. Terkadang apa yang kamu lihat, dengar, bahkan kamu rasakan, tidak terasa oleh semua manusia. Kamu istimewa," ujarnya tersenyum, dengan janggut putih panjang yang menambah wibawa rupanya.

"Maksud kamu apa?" Tania terus bertanya.

"Kamu bisa lihat hal di luar nalar, kamu indigo. Jika kamu bisa beradaptasi, kamu juga bisa menolong mereka," jawabnya.

"Tapi, aku takut, aku mau ini hilang!" teriak Tania.

"Kamu harus menerima takdir, bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Kamu akan terbiasa, dengan apa yang kamu punya," lanjut si pria tua.

"Maksud kamu aku itu ...." Belum sempat ia melanjutkan pertanyaannya, sosok pria itu hilang. Dan ia pun tersadar.

"Nia!" Bunda langsung memeluknya. "Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya bunda.

"Nia gak papa, Bunda. Ko, ada Kakak sama Ayah?" Tania kebingungan, mengapa keluarganya berkumpul di kamarnya.

"Kita khawatir sama lu," ujar kedua kakaknya.

"Bunda, Nia mau nanya."

"Apa, Sayang?"

"Bunda tahu sesuatu tentang Abah?" tanya Tania.

"Bunda sebenernya mau cerita sama kamu. Dulu nenek dan kakek bilang, ketika kamu berumur tujuh belas tahun mata batin kamu akan terbuka dengan sendirinya. Dan itu tidak bisa untuk dihilangkan, Tuhan titipkan itu agar kamu bisa membantu mereka yang harus dibantu. Kamu jangan takut, ya, Bunda di sini."

Pernyataan bunda membuat Nia mengerti, bahwa kejadian yang telah dia alami berkali-kali adalah tanda bahwa saatnya dia siap untuk semuanya.

"Kita di sini, Nia, buat kamu," ucap ayah menimpali, sembari memeluk anak bungsunya itu.

"Iya, Nia, kita di sini." Kedua kakaknya juga memeluk Tania dengan penuh kasih sayang.

"Makasih semua, Nia yakin Nia bisa. Bismillah!"

Setelah hari itu, hidup Tania memang sedikit aneh. Namun, karena rasa terbiasa ia menjadi sosok pemberani, sering membantu mereka yang tak terlihat. Ia juga mengerti bahwa dalam hidup, kita tidak sendirian. Ada banyak yang tak terlihat dan tak semua dapat melihat.

Tamat

Nama: Starla Amelia
Jumkat: 1423

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang