Angkasawan

53 1 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri. Maaf jika ada kesamaan nama, tempat, latar, dll.

Selamat membaca dan selamat menikmati cerita ini. Semoga suka dan terima kasih.

•••




"Bulan."

"Apasih, Angkasa?"

"Lo cantik."

"Gue tau."

"Tapi, sayang."

"Hm, why?"

"Dari lobang pipet."

"Dasar manusia ngeselin!"

Kini terdapat dua orang sedang duduk di pantai, menikmati senja yang amat indah. Embusan angin menerpa wajah mereka. Angkasa dan Bulan namanya. Dua insan yang berstatus sahabat, memiliki sikap yang serasi. Angkasa yang memiliki sifat jahil dan Bulan yang memiliki sikap emosional. Jika disatukan maka akan menjadi seperti Tom and Jerry.

"Angkasa, nanti kalau gue pergi lo ikhlas gak?" tanya Bulan.

"Lo gak akan pergi, sekalipun lo pergi gue akan ikut. Kemana pun itu," jawab Angkasa lembut.

"Emang kalau gue mati, lo mau ikut?" tanya Bulan kembali.

"Lo kalau bicara disaring dulu. Gue gamau kehilangan lo, dan gue gak suka lo bicara kayak gitu lagi," ucap Angkasa dengan nada tinggi.

"Kok, lo ngegas, sih," ujar Bulan.

"Lo sih bikin gue emosi aja, pake tanya yang macem-macem lagi," sinis Angkasa, sungguh sangat kesal dirinya.

"Udah, ah, gue mau balik," ucap Bulan sembari berjalan pergi, meninggalkan Angkasa sendirian.

"Woi, tungguin gue! Dasar sahabat gak ada akhlak!" Dengan cepat Angkasa mengejar langkah Bulan, dan meninggalkan area pantai.

Kini keduanya sudah berada di atas motor CRF milik Angkasa. Keduanya tampak serasi, rambut panjang milik Bulan tergerai indah, serta beterbangan membuat kesan cantiknya bertambah, walaupun sedikit tertutupi oleh helm.

"Lo mau mampir beli seblak dulu gak, Lan?" teriak Angkasa.

"Mau, tapi yang pedes," jawab Bulan sedikit teriak.

"Kalau mau seblak gak boleh yang pedes, " ujar Angkasa sembari menepikan motornya di depan warung seblak.

"Yaudah yang penting makan seblak," ucap Bulan pasrah.

"Dibungkus aja, udah malem besok kita harus sekolah," ucap Angkasa.

"Iya, Angkasanya Bulan," jawab Bulan dengan nada selembut mungkin, padahal dirinya sungguh sangat kesal.

...

Pagi menyapa, matahari menembus sela-sela jendela. Membangunkan tidur putri cantik Angkasa. Bulan namanya, kini dia sudah siap untuk menuju sekolah, tentunya dijemput oleh Angkasa. Mereka berdua sekarang sudah kelas 12.

"Ganteng doang jemput cewe di depan gang, " ucap Bulan dengan nada ejekan, saat tahu bahwa Angkasa akan berhenti di depannya.

"Ginting diing jimpit ciwi di dipin ging," jawab dengan nada ejekan. Angkasa sungguh kesal, sudah dijemput bukannya berterima kasih malah sebaliknya.

"Ck, udahlah ayo naik. Pagi-pagi bikin kesel aja lo," ujar Angkasa.

"Goo, Angkasanya Bulan!" teriak Bulan sembari menaiki motor milik Angkasa.

Sesampainya di parkiran sekolah, Bulan segera turun dan melepas helm yang digunakannya.

"Makasih, Angkasa," ucap Bulan.

"Tumben lo tau bilang terima kasih, biasanya juga langsung pergi aja," jawab Angkasa.

"Serba salah mulu gue sama lo. Bilang terima kasih salah, gak bilang juga salah. Tau, ah, kesel gue sama lo," ucap Bulan dengan kesal.

"Iya deh maaf, sensi banget lo. Udah ayo ke kelas." Angkasa merangkul bahu milik Bulan, dan berlenggang pergi.

...

Hari demi hari mereka lalui, keduanya menikmati masa-masa indah, suka dan duka bersama. Bulan sangat beruntung memiliki Angkasa, begitupun sebaliknya.

"Angkasa gue mau bicara sama lo. Lo harus janji gak akan sedih setelah dengar kenyataan ini," ucap Bulan. Keduanya kini sedang berada di taman.

"Lo mau bicara apa? Gue gak janji, sih," jawab Angkasa dengan alis yang disatukan. Pertanda ia sedang penasaran.

"Gue harus pergi ke Inggris, gue disuruh kuliah di sana. Gue bakal naik pesawat dengan no 369 tujuan Inggris. Dan gue akan berangkat besok," ucap Bulan. Ia juga tidak menyangka akan pergi secepat ini, meninggalkan Angkasa.

"Lo serius, Lan? Lo gak bohong? Lo tega banget mau ninggalin gue, lo 'kan udah janji gak akan tinggalin gue sampai kapan pun." Kini pecah sudah tangis Angkasa. Bulan yang sudah seperti bagian hidupnya harus pergi, bahkan tinggalkan dia sendiri.

"Maafin gue, Angkasa, keputusan ini bukan gue yang minta. Gue juga gamau tinggalin lo, tapi gue juga gamau ngecewain Mama Papa." Isak tangis juga mulai terdengar di telinga Angkasa. Keduanya sama-sama tidak ingin berpisah, tetapi takdirlah yang menentukan semuanya.

Sore ini, di taman yang indah ini, awan tiba-tiba saja mendung, rintikan hujan membasahi tubuh kedua insan itu. Alam seolah tahu akan kesedihan mereka, dua manusia yang harus terpisah.

"Lo harus janji sama gue, kalau lo gak akan pernah lupain gue. Sekalipun kita gak akan pernah bertemu kembali," ucap Angkasa di sela-sela tangisannya.

"Gue janji gak akan lupain lo, lo laki-laki terbaik yang pernah hadir di hidup gue setelah papa," jawab Bulan. Tangis keduanya tidak bisa ditahan. Tangisan bersatu dengan rintikan hujan.

***

-Ingin selalu bersama, tapi takdir ini berbeda. || Angkasawan

-Pertemuan ini sangat berharga, walaupun harus tetep berpisah. || Bulan

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang