Father Story

96 11 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata penulis sendiri.  Maaf jika ada nama, tempat, latar dll.

Selamat membaca ini dan selamat menikmati cerita ini. Semoga kalian suka dengan cerita ini.
Terima kasih.

•••

"Ayah, tadi teman-temanku bilang, katanya aku tidak punya ibu. Apa itu benar?" Pertanyaan itu lolos dari bibir anakku. Aku yang sedang membaca koran mengalihkan atensiku padanya.

"Syia punya ibu, kok. Hanya saja ibu Syia sudah bahagia di sana," jawabku sambil kepalanya lembut.

"Apakah Syia boleh melihat ibu, Ayah?" Syia kembali bertanya.

"Boleh," ucapku sambil tersenyum. "Syia bobo, ya. Ini sudah malam."

Aku melihatnya menggelengkan kepala pelan.

"Syia mau lihat ibu."

"Nanti, ya. Syia tidur saja dulu."

"Benar, Ayah?"Aku menganggukkan kepalaku.

"Janji?" Dia mengacungkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum lalu mengaitkan jari kelingkingku padanya.
Ia tersenyum senang, lalu segera memasuki kamarnya.

Aku menghembuskan nafasku, kembali ingat pada masa itu.

                             ☆☆☆

Beberapa tahun yang lalu ....

Jakarta, 2017

Hari ini aku pulang lebih cepat  dari biasanya, karena Mamah meneleponku untuk segera pulang.

Setelah sampai di rumah, aku melihat ada sebuah mobil terparkir. Aku menduga-duga siapa yang datang. Segera aku masuk ke dalam rumah. Ternyata di sana sudah ada kedua orang tuaku, juga sepasang suami istri dan juga seorang gadis. Mamah segera memanggilku dan menyuruhku duduk.

"Syam, kami akan menjodohkan kamu dengan Aishi." Tanpa basa-basi Papa langsung mengutarakan niatnya.

"Papa apa-apaan, sih? Aku gak mau dijodoh-jodohin?" ucapku marah.

"Papa gak terima penolakan, minggu depan kamu akan menikah."

Aku menghembuskan nafasku, lalu melirik sosok gadis yang sejak tadi menundukkan kepalanya. Aku segera pergi ke kamar meninggalkan mereka.

Pernikahan pun terjadi. Sekarang aku sudah menjadi seorang suami. Tiba-tiba pintu terbuka, ia melihat Aishi di sana.

"Apa?" tanyaku ketus.

"Mama menyuruhku untuk tidur di sini." Aishi menjawab dengan kepala tertunduk, ia takut melihat tatapan tajam Syam.

"Lo tidur di sofa, gue males tidur bareng lo." Setelah mengatakan itu, aku segera tidur. Aishi yang melihat itu segera membaringkan tubuhnya di sofa, ia berharap bisa melewati hari-hari yang buruk nanti.

Sudah dua bulan berlalu, aku masih tetap memperlakukannya dengan kasar. Hingga hari ini, aku melihat Aishi yang muntah-muntah. Segera ku panggilkan dokter.
Aku membaringkan Aishi diatas kasur sambil menunggu dokter.

Tak lama  dokter pun tiba, aku segera menyuruhnya untuk memeriksa Aishi.

"Selamat, Pak. Anda akan menjadi seorang ayah." Dokter itu berucap sambil tersenyum.

"H-hah? Maksud Dokter," tanyaku.

"Kemungkinan akan lahir secara prematur," jelas sang Dokter.

"Tolong selamatkan keduanya, Dok, saya mohon." Dengan bercucuran air mata, aku memohon untuk menyelamatkan keduanya. Entah perasaan apa ini, padahal aku tak menyukai Aishi apalagi saat mendengar jika ia hamil.

"Kami akan berusaha sebisa mungkin."

Satu jam berlalu, akhirnya Aishi melahirkan dengan selamat, walaupun setelah itu ia pingsan. Sang bayi juga berjenis kelamin perempuan.

Aku bahagia mendengar itu, segera aku masuk ke ruangan Aishi. Memang boleh menjenguk pasien sekarang, hanya saja harus satu orang. Ku hampiri dirinya sambil tersenyum bahagia.

"Mas ...," ucapnya lirih.

"Aish, apakah dia anakku atau ...."

"Dia anakmu, Mas. Tolong jaga dia. Tak apa jika kamu tak menyukaiku, tapi aku mohon jangan membencinya. Tolong rawat dia. Bagaimana pun juga dia darah dagingmu." Dia memegang tanganku dengan bercucuran air mata.

"Tapi ... aku tak pernah menghamilimu," jawabku.

"Waktu itu kamu sedang mabuk, Mas."

"Jadi ...." Aku menatapnya dengan mataku yang berembun, seketika aku langsung memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Ia membalas pelukanku.

"Aishi, maafkan aku, maaf, maaf." Aku hanya bisa mengucapkan maaf.

"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Waktuku hanya sebentar. Tolong rawat dia. Selamat tinggal, Mas." Aishi menghembuskan nafas terakhirnya.

"Aishi, bangun. Aishi!" Aku menangis, aku menyesal. Memang benar kata pepatah, kia akan menyesal setelah kehilangan.

Aishi, aku berjanji, aku akan merawat anak kita. Aku akan membahagiakannya.

                            ☆☆☆

Jakarta, 2021

Aku menepati janjiku pada Syia, untuk membawanya bertemu Aishi. Kini, gadis kecilku sedang berjongkok dihadapan makam ibunya.

"Ibu, yang tenang, ya. Syia akan mendoakan Ibu. Syia juga tidak akan nakal lagi pada Ayah. Syia ingin suatu saat nanti, Syia bisa membuat Ayah bangga."

Aku terenyuh mendengarnya. Ku elus kepalanya dengan lembut.

"Pulang, yuk," ajakku.

Dia mengangguk.

"Ibu, Syia pulang dulu, ya. Nanti Syia akan sering ke sini. Ibu yang tenang di sana. Ayah, ayo pulang."

Ku raih tangan mungil itu sambil tersenyum menatapnya. Kami pun pergi meninggalkan pemakaman.
   
END

Nama : Neng Raudhah

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang