Terlambat Menyadari

42 2 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis sendiri.  Maaf jika ada kesamaan nama, tempat, latar, dll.

Selamat membaca dan selamat menikmati cerita ini. Semoga suka dan terima kasih.

••





Tepat jam 10.01, semua murid berhamburan keluar kelas dan memburu kantin demi mendapatkan tempat. Terkecuali aku yang kini hanya diam tanpa pergi ke mana pun.

"Alma, ayo dong ikut ke kantin," ajak Diana sambil menarik tanganku, tetapi tetap saja aku menolak dan tetap diam di kelas. Sampai akhirnya Diana dan yang lainnya pasrah, lalu pergi meninggalkan kelas.

Tanpa sengaja, netraku menatap sosok pria yang duduk paling depan. Aku masih belum bisa berkenalan dengannya, karena sepertinya dia adalah tipe orang penyendiri dan kutu buku. Bahkan, lagi-lagi aku melihatnya memegang buku pelajaran, kadang novel.

Setahuku, selain kutu buku, dia juga murid terpintar di kelasku dan pastinya selalu mendapatkan ranking satu.

Aku baru saja berniat menghampiri pria itu, tetapi justru seseorang malah menghalangiku demi mengajakku pergi ke kantin.

"Alma, ayo pergi ke kantin bareng gue," Ajak Reza dengan senyum ramah yang tidak baik untuk ditolak.

Dia adalah seorang murid yang selalu mendapatkan ranking 2. Peringkat ke-4 adalah Daniel yang kini membenciku karena aku tak sengaja merebut posisinya. Dan terakhir adalah Kiki murid pria yang posisi peringkat ke-5.

Jadi, ranking penengah adalah Alma Aprilia, yaitu aku sendiri yang tiba-tiba saja mendapatkan ranking 3.

"Duluan aja," sahutku yang dibalas kekehan dari Reza.

"Oke, kalau gitu gue duluan ya," katanya dan langsung aku angguki.

***

Waktu kian berlalu, bahkan tahun pun sudah berganti. Tak terasa aku bisa bertahan di SMA CAKRAWALA, juga tidak menyangka aku bisa mengenal dan dekat dengan murid pintar dan kutu buku yang bernama Bumi Gematara.

Nama yang unik, yang baru saja aku dengar.

"Kamu kenapa gak ikut mereka ke kantin, Al?" tanya Bumi sambil menatapku heran.

"Terus ngapain sendirian di sini? Kenapa gak ikut yang lain juga?"

"Saya 'kan orangnya penyendiri, semua orang mana mau mengajak saya." Ah, lagi-lagi kata-kata formalnya membuat aku tersenyum.

Bahkan entah kenapa, aku sering sekali menatapnya diam-diam apalagi jika Bumi sudah fokus membaca, aku bisa melihat dirinya sepuas mungkin.

"Mata kamu ...," ucapku menggantung di udara, ketika Bumi dengan cepat melihatku dengan alis berkerut.

"Mata saya kenapa? Apa ada kotoran yang menempel?" tanya Bumi sembari melepas kacamata miliknya, hingga mata indah berwarna coklat muda itu kini terlihat jelas di mataku.

Aku hanya menggeleng dilengkapi kekehan kecil sebagai respon.

"Terus apa dong?"

"Indah."

Cuaca cerah siang ini, menjadi saksi diriku yang tergelak saat melihat seorang Bumi Gematara salah tingkah untuk pertama kalinya.

***

Semilir angin di siang hari menerpa rambutku yang sengaja terurai. Cuaca hari ini memang panas, tetapi untungnya aku dan yang lainnya sedang tidak di sekolah, melainkan di hutan, memotret tumbuhan untuk membuat tugas dan mencatat yang memang benar-benar penting.

Semuanya dibagi 5 kelompok. Per kelompok berisi 6 sampai 9 orang, sedangkan sisanya 5 orang. Itu adalah kelompokku, yang berisi Daniel, Kiki, Reza, juga jangan lupakan di kelompokku ada Bumi.

Aku berkali-kali menghela napas saat Daniel terus saja marah-marah karena masuk kelompok 5. Tak hanya itu, Reza yang dulu terlihat ramah justru menjadi cuek dan sering ngegas saat melihat Bumi yang jadi saingannya.

"Bu, Daniel mau masuk kelompok lain aja, Bu!"

"Gak bisa, Niel. Ini udah diatur dan jangan berani nawar lagi!" sahut Bu Vina dengan tegas.

Aku bisa mendengarkan Daniel menghela napas gusar, lalu matanya menatapku dengan tatapan tak suka.

Lagi-lagi angin masuk ke dalam hutan, membuat dedaunan saling bergesekan juga pohon yang membuatku was-was karena bergerak ke sana ke mari, seperti akan tumbang.

"Aduh." Aku mengucek mataku yang sedikit perih karena rambutku yang tidak bisa diam.

Aku berjongkok mengambil kertas juga pensil yang berjatuhan dengan satu tangan, sedangkan tangan sebelah masih setia mengucek mataku yang masih saja sakit dan terasa gatal.

Namun, tak lama, aku merasakan seseorang yang diam di belakang dan mengumpulkan rambutku lalu mengepangnya.

"Lain kali rambut kamu ikat, Al. Untuk sementara saya ikat rambut kamu pakai ini dulu."

Suaranya ... aku tahu dia siapa. Dia kini berjalan ke depan dan menatapku dengan senyum khasnya, yang sangat selalu aku suka.

"Sini biar saya tiupin." Bumi melepaskan tanganku dan meniup mataku yang perih, dan di sini entah kenapa jantungku lagi-lagi berdetak kencang saat dekat dengannya.

Di saat aku mendapatkan kesempatan untuk terus menatapnya, tetapi justru musibah harus menimpa kami berdua. Aku terpental jauh saat sesuatu menghantamku hingga tak sadarkan diri.

***

Wangi khas bunga yang masih menumpuk di batu nisan tercium olehku, apalagi seikat bunga mawar merah yang kini aku pegang tak kalah wanginya.

"Bumi ...," lirihku sembari menatap batu nisan dengan rangkaian nama yang jelas aku kenal.

Bumi Gematara, kini dia telah pergi karena kecelakaan di hutan saat bersamaku saat itu. Dia pergi saat aku masih tak sadarkan diri selama tiga hari.

Dia pergi, ketika aku menyadari perasaan yang tidak pernah aku tahu selama ini.

Aku memang bodoh, bahkan perasaanku sendiri saja tidak menyadari. Namun, kenapa di saat kamu pergi aku baru menyadari satu hal yang mungkin menyakitkan. Aku baru saja menyadari jika aku mencintai sosok yang sudah pergi dari dunia ini.

End

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang