Menolak Melawan Takdir

43 2 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain lain.

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

"Christi, main yuk!" Aku meneriaki dia, ketika aku sudah sampai di depan rumahnya.

Tidak aku dengar jawaban, aku pun meneriaki namanya lagi, "Christiii!" Ke mana dia? Aku sudah mengeluarkan semua kemampuan untuk meneriaki namanya itu, aku rasa suaraku akan habis sekarang.

"Christinya belum pulang dari gereja." Wanita paruh baya keluar dari pagar rumah itu, dari pakaiannya yang menggunakan daster dan kain lap yang tersampir di bahunya, sepertinya dia pembantu di rumah itu.

"Biasanya jam segini udah pulang Christinya. Yaudah deh Bi, aku pulang dulu nanti bilang ke Christi, Farhan yang ganteng ini mau ngajak main," ucapku, aku pun bergegas meninggalkan rumah itu.

'Tidak seperti biasanya Christii belum pulang sampai sesore ini, padahal aku mau ngajak main ke rumah pohon yang udah aku dan Bapaku bikin,' batinku. Rencana untuk bermain bersamanya di hari Minggu pun hancur.

***

Aku Farhan, bersekolah di MTS Al-Fatih kelas sebelas dan Cristi sahabatku, bersekolah di SMA Swasta Katolik kelas sebelas juga. Sekolah kami berhadapan, ketika pulang sekolah aku selalu menunggunya untuk sekedar pulang bersama.

Kami sudah bersahabat sedari kecil, jarak rumah kami yang dekat, membuat kami selalu bermain bersama. Sudah banyak waktu yang kami lewati, seperti bermain sepeda walau selalu terjatuh—Cristie yang memang notabenenya kurang jago dalam mengendarai sepeda yang membuatku harus ekstra sabar dalam mengajarinya—memanjat pohon mangga Pak Haris hingga akhirnya kami habis-habisan dimarahi karena ketahuan mencuri mangga tanpa sepengetahuan Pak Haris, bermain layangan di lapangan walau layangannya tidak pernah bertahan lama terbang di langit dan banyak hal lagi.

Namun, karena kegiatan yang selalu menghantui hari-hari kami yang membuat waktu bermain kami terkuras banyak, tidak seperti dulu. Ada saja halangan yang membuat kami tidak bisa merasakan kebebasan seperti dulu. Cristii yang harus mengikuti kegiatan kepemudaan di Gereja, aku yang terkadang harus rutin mengaji di Mushola dan membantu ibu menyiapkan kue-kue untuk berjualan.

Sudah sekitar sepuluh menit aku menunggunya di depan gerbang sekolah, bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Tetapi, mana manusia yang aku tunggu-tunggu itu? Perutku sudah berbunyi sejak tadi.

"Sabar, ya cacing-cacing, lagi nunggu Tuan Putri nih," ujarku sembari menepuk-nepuk perut.

"Farhan!" Huh, bisa tuli pendengaranku jika terus saja diteriaki.

"Bisa ga sih Cristi cantik, gausah teriak di kuping Farhan," ucapku sembari memutar bola mata malas.

"Hehe, maapin Cristii ya, Farhan ganteeng." Cristie mengulum senyum dan mengimutkan wajah untuk mendapatkan ampun dariku.

"Iya! Yaudah." Aku pun bergegas berjalan meninggalkan Cristi di belakang.

"Ih, Farhaaan tungguin Cristiiinyaaa," ucapnya dan mensejajarkan langkah kakiku.

Dia pun berjalan di sampingku, dia sangat terlihat cantik. Tas pinknya, anting salibnya, pita pink yang selalu menghiasi rambut indahnya itu, sungguh aku sangat-sangat terpesona.

"Cris, kemarin Farhan samperin di rumah kok Cristi belum pulang?" tanyaku.

"Ituu, tiba-tiba di gereja ada rapat kepemudaan, jadinya Cristi pulang malem hehe," jawabnya, sembari tertawa di akhir kalimat.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang