Marry?

20 3 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain lain.

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Langkah kaki itu semakin cepat saat memasuki pekarangan rumah sakit. Dia—Meitri Wulandari, gadis cantik berseragam putih abu-abu yang tampak sedang kebingungan mencari bangsal nomor 26. Novan—sahabatnya sedang dirawat di rumah sakit ini. Meitri belum sempat menjenguk karena dirinya baru saja pulang dari luar kota.

Di tengah keramaian rumah sakit, Meitri berpapasan dengan Arif—sahabat Novan dari kecil sampai sekarang.

"Rif," sapa Meitri.

"Eh, Mei? Sejak kapan lo balik?" tanya Arif.

"Tadi malam, gue dapat kabar dari Tante Mirna—Mamanya Novan kalau Novan masuk rumah sakit. Oh, iya, Btw lo abis nengok Novan, ye? Ruangannya di mana sih? Gue gak tau sumpah, dari tadi muter-muter mulu," ketus Meitri yang raut wajahnya berubah cemberut.

Arif menghela napas lalu menjawab, "Lo dengerin gue, lo tinggal lurus ke depan terus belok kanan, terus belok lagi ke kiri, dan nyampe deh," jelas Arif.

"Ooo ... makasih, Arif taik." Meitri langsung berlari setelah puas mengejek Arif.

"Kamvret emang tu bocah."

***

Meitri terus berjalan mengikuti arahan Arif tadi, tak berapa lama sampailah ia di ruangan Novan. Di sana, terlihat Tante Mirna dan Om Johan tengah berbincang.

"Tante, Om," sapa Meitri yang memotong pembicaraan mereka.

"Meitri? Sini duduk dulu, Nak," tawar Tante Mirna tanpa memudarkan senyuman manisnya. Dia memang baik hati, beruntung sekali Novan memiliki ibu sebaik Tante Mirna.

"Nggak ah, Tante. Aku mau liat Novan," katanya.

"Ooh ... nggak kangen sama Tante, nih?"

"Kangen dong Tan, tapi aku mau liat Novan. Boleh, ya?" bujuknya.

"Boleh."

"Oke, makasih Tante."

Meitri langsung membuka pintu itu, seketika bau obat langsung menyerang indra penciumannya. Di sana, terlihat seorang remaja sedang terbaring lemah di atas kasur. Ya, itu Novan. Meitri menjadi kasihan pada Novan, huh ... Novan sialan. Meitri berjalan mendekati kasur Novan, ia mengambil kursi yang kebetulan terletak di samping kasur itu, dan langsung mendudukinya.

Melihat kondisi Novan yang seperti ini, entah mengapa Meitri merasa iba. Ia tatap mata yang terpejam itu, berharap sang pemiliknya bangun dan melihat dirinya. Meitri baru sadar, ternyata Novan lumayan tampan. Oh, astaga! Dia baru menyadarinya sekarang. Perlahan, mata itu mulai terbuka. Novan kaget melihat Meitri.

"Apaan sih, natapnya gitu amat kayak liat setan aja!" gerutunya.

Novan menutupi telinganya. "Ck! Berisik amat sih lo, mana mukanya kayak setan lagi," ejek Novan.

Meitri terbelalak, apa yang dibilang Novan tadi? Mukanya kayak setan? Huh ... apa dia tidak melihat kalau dia secantik ini?

"Mata lo di mana, sih? Lo gak liat kalau gue secantik ini?"

Novan melengos. "Heleh, taik. Burik gitu kok dibilang cantik," ejeknya.

"Bener-bener ya, lo! Udahlah, gue mau pulang aja. Percuma gue di sini!"

Saat Meitri berbalik, Novan segera mengambil pergelangan tangan gadis itu. Hal itu malah membuat Meitri semakin kesal.

"Lepasin," sergahnya.

"Gak, lo harus temenin gue."

"Dih, males!" ketus Meitri.

"Apa lo bilang? Males?"

"Iya, males. Kenapa, hah?"

Tante Mirna yang mendengar suara ribut di dalam ruangan itu segera masuk ke dalam, tingkah kedua anak itu sering kali membuatnya pusing.

"Kalian kenapa ribut?" tanya Tante Mirna dengan wajah menuntut.

Meitri dan Novan saling tunjuk, tak mau mengakui kesalahan mereka masing-masing.

"Kenapa saling tunjuk? Kalian gak pernah akur, ya. Ayo jawab siapa yang duluan berulah."

"Novan, Tante. Masa aku dibilang kayak setan." Baru saja Novan ingin berbicara, tetapi Meitri lebih dulu menyalahkannya.

"Nggak, Ma. Masalahnya dia tadi berisik banget," jawab Novan tak mau kalah.

"Udah-udah. Sekarang kalian berdua diam, ga ada yang saling menyalahkan. Paham!" Tante Mirna mengomel, membuat keduanya terdiam.

Novan melirik Meitri dengan sinis lalu berbisik, "Awas lo." Meitri tak menanggapinya, ia membuang muka malas.

"Tante, aku mau ke WC dulu, ya," pamitnya.

Tante Mirna hanya mengangguk sebagai jawaban.

Akhirnya, Meitri bisa keluar dari ruangan itu. Ia malas berlama-lama di sana, apalagi jika ada Novan. Menyebalkan! Sebenarnya, dia tidak ingin ke WC, melainkan ingin pergi ke halaman rumah sakit ini.

***

Meitri tak menyangka karena halaman rumah sakit ini begitu indah dan asri. Pantas saja banyak orang yang lebih memilih jalan-jalan di sini daripada terus berbaring di ranjang sana.

Saat Meitri sedang asyik melihat-lihat sekeliling, tiba-tiba atensinya tertuju pada seseorang yang tak asing di matanya. Ya, itu Arif, tapi siapa yang digandengnya?

Meitri berjalan mendekati Arif dan anak kecil yang bersamanya.

"Rif."

Arif tampak terkejut melihat kedatangan Meitri.

"Iya?" jawabannya ragu.

"Ini siapa? Ponakan lo?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Iya, anaknya Mba Risa, lho."

"Hah?! Apa iya, bukannya mba Risa belum nikah, ya?"

"Yaelah, ketinggalan apa gimane sih lu. Lo lupa acara 2 tahun yang lalu?"

Meitri berusaha mengingat. "Ah, iya. Maaf, lupa hehehe."

"Dasar! Lo kan emang pikun," cibir Arif.

"Btw kalian berdua mau jenguk Novan? Bukannya lo tadi udah jenguk ya, Rif?"

"Iya, nih. Mau nambah-nambah mulu," kelakarnya.
"Ya udah, yok!" lanjutnya.

"Ke mana?" tanyaku.

"Ya ke tempat Novan lah, yakali ke lubang buaya."

***

Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, kami sampai di ruangan Novan.

"Duluan," ucapku pada Arif.

Arif dan ponakannya masuk duluan, lalu diikuti aku yang mengekor di belakang mereka.
Ternyata di sana ada om Johan.

"Ini nih, Pa. Meitri sama Novan ini berantem terus, gak bisa akur," keluh Tante Mirna pada Om Johan.

"Waduh, apa kita nikahin aja ya, Ma?"

Aku dan Novan melotot mendengar apa yang diucapkan Om Johan barusan.

"Iya, Pa. Mama setuju, kamu juga setuju kan, Rif?"

"Iya dong Tan, pastinya setuju."

"ENGGAK!" pekik Meitri dan Novan bersamaan.

END

Nama: Syera Olanda
Jumlah kata: 875

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang