Abadi dalam Sajak

62 2 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain sebagainya

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Matahari telah beringsut menuju peraduannya, menyisakan garis-garis jingga di cakrawala. Deru ombak menghantam karang menghiasi suasana antara aku dan seseorang yang spesial untukku.

Lelaki tampan, mata biru laut, hidung mancung, dan bibir merah muda itu begitu indah. Menatap senja bersama dia terasa berkali-kali lipat indahnya.

Dia duduk berhadapan denganku, matanya memandang laut dengan sorot yang sulit diartikan. Sementara aku kembali menatap album usang yang berisikan beberapa foto aku dan dia saat bermain bersama, dulu.

Angin berembus menyapa permukaan kulit, aku duduk di sebuah ayunan yang berada di antara dua pohon kelapa di tepian pantai. Remaja laki-laki seumuranku terus mendorong ayunan dan sesekali memberi lelucon sehingga tawaku dan tawanya mengudara.

“Nir, nio bajanji ndak?” tanya laki-laki itu.

“Bajanji apo, Azka?”

“Jawab aja iyo atau indak.”

“Iyo, Nirmala mau.”

“Mari bertemu lagi di masa depan dan menikahlah denganku.”

“Tentu, kita bakal selalu bertemu.”

“Tidak, Nir. Aku akan pergi, jauh dan akan kembali untuk kamu.”

“Kalau sudah pergi jauh, kau tak akan kembali. Jadi untuk apa berjanji?”

“Aku bakal kembali untuk kamu, Nirmala.”

“Tidak usah bohong!”

Setelah itu aku berlari pulang sambil menangis sesenggukan, dan besoknya saat aku menemui pantai lagi. Tidak ada Azka lagi yang menyambutku, tidak ada Azka lagi yang mengajakku bermain, dan tidak ada Azka lagi di tahun-tahun setelahnya.

Aku kesepian tanpa sahabat masa kecilku.

“Nirmala, kenapa kamu menangis?” Aku terlonjak kaget saat sebuah tangan menyeka air mataku. “Ah, tidak apa-apa. Ini cuma kelilipan aja kok.”

“Kamu tidak bisa bohong, Nir. Aku tau kamu.”

Aku menggeleng pelan. “Lupakan saja.”

Lelaki itu menatapku dalam. “Ada cerita apa hari ini, Nirmala?”

“Tidak ada.”

“Oh iya, pas aku masih di Jakarta kemarin. Aku sempat ke Gramedia buat beli novel ini, kamu suka genre romantis, 'kan?”

Tanganku terulur mengambil novel ber-cover pink yang dia sodorkan. “Terima kasih, tapi maaf aku tidak suka novel genre romantis lagi.”

“Baiklah, Nir, tadi aku sempat pangling lihat kamu memakai kerudung.”

Aku hanya mengangguk.

Azka menghela napas. “Kamu berbeda, Nir. Tidak seceria dulu lagi.”

“Bagaimana aku bisa ceria, kalau kebahagiaan aku saja sudah menghilang sepuluh tahun lalu?”

“Maaf, Nir.”

“ ... sekarang aku sudah di sini, bisa kembali jadi Nirmala yang menggemaskan?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Harusnya aku yang bertanya, kenapa terbang ke sini?”

“Aku ingin menemui kamu, Nirmala.”

“Untuk kasih luka? Iya 'kan?” Aku tersenyum kecut. “Sakit, Ka. Sepuluh tahun aku nunggu kamu balik ke sini, aku nunggu sahabat dan pacarku. Tetapi pas kamu balik, bukan kebahagiaan lagi yang aku dapat. Luka. Karena minggu depan kamu akan menikah, tentunya dengan perempuan yang kamu sayang.”

***

Azka terkekeh kecil. “Ayo Istriku, itu anak-anak udah nunggu di luar. Katanya mau ke taman.”

“Siap, Suamiku. Ini mau ambil ponsel dulu.”

“Loh, kan ponsel kamu udah sama aku.”

“Ehh, iya ya?”

“Lupa lagi deh kamu, Istriku.”

“Harap maklum, udah emak anak tiga."

“Oh, ya? Tapi kamu masih tetap istri aku yang cantik, beruntung dapet kamu, Nirmala.”

“Kam--”

“Ih, pantesan lama ternyata pacaran dulu. Gak ingat anak ya?” tanya Airin, anak tengahku. “Sabar dong, Nak. Ini Bunda mau keluar kok. Papa kamu aja yang jahil.”

“Loh loh loh, gak bahaya ta?”

“Udah-udah, ayok pergi. Keburu siang nanti.”

Aku tersenyum bahagia, sambil menggenggam tangan Azka dan Airin. Ternyata penantianku bertahun-tahun berakhir dengan baik. Tentu saja, karena aku menunggu orang yang tepat.

Andai dulu aku menyerah menunggu, mungkin aku tidak akan merasakan bahagianya menikah dengan orang yang aku cintai.

Terima kasih, Azka.

Bandung, 28 Mei 2023

Nama: Wii
Jumkat : 782

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang