Lelaki Kedua Setelah Ayah

24 2 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain sebagainya

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Rabu, 15 April 2003.

Saat itu, usiaku masih menginjak lima tahun. Hari yang tidak akan pernah aku lupakan selama jantungku masih berdetak. Moment terindah, sekaligus terburukku.

Hari ini aku ulang tahun dirayakan hanya sekeluarga. Ayah, Ibu, dan saudara kandungku—Mahesa. Meskipun sesederhana itu, aku merasa senang. Ingat di masa itu aku memakai baju berwarna merah muda, tangan kanan memegang balon yang berwarna merah muda pula. Kepalaku memakai topi ulang tahun. Mereka bertiga dengan lantang menyanyikan lagu Happy Birthday. Tangannya bertepuk, membuat ulang tahunku semeriah mungkin.

Ulang tahun sederhana, tetapi cukup berkesan. Ayah memberiku hadiah boneka panda berukuran kecil berwarna putih. Hadiah yang sampai sekarang masih aku simpan rapat-rapat bersama kenangan di dalamnya.

Sorenya, aku menggendong boneka pemberian Ayah yang diberikannya tadi pagi, sembari menyanyikan lagu Nina Bobo. Pikirku waktu itu bonekaku akan segera tertidur, seolah boneka itu dapat mendengar suaraku.

Sepersekian detik, telingaku berfungsi kembali. Aku mendengar teriakan Ibu dari dalam kamar, dan terkejut bukan main. Segera aku berlari menuju kamar Ibu, tangan kanan menenteng Boneka itu. Di sana aku mendapati Kakak Mahesa yang tengah mengusap punggung Ibu. Melihat Ibu yang sedang menangis aku lekas bertanya, "Ada apa ini?" Kak Mahesa menghampiriku, lantas jongkok mensejajarkan tubuhnya denganku.

"Tidak apa-apa, Syah. Ibu hanya mimpi buruk." Jawabannya membuat aku berpikir, seburuk apakah mimpi Ibu sampai dia menangis?

Aku mengelak. "Kenapa Ayah tidak bangun? Bukankah teriakan Ibu begitu keras?"

Kak Mahesa menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca. ''Mungkin Ayah tidurnya terlalu pulas, sampai Ayah tidak mendengar teriakan Ibu," ucapnya membuatku percaya.

"Ayo Kakak antar ke kamar," sambungnya.

Kak Mahesa menuntunku keluar dari kamar Ibu, ketika sampai di depan pintu aku melihat di ruang tamu banyak sekali orang yang datang. Ada Bibi, Om, dan tetangga-tetanggaku. Pikirku waktu itu, mungkin mereka diundang oleh Ayah karena ingin mengadakan pesta ulang tahunku nanti malam. Ternyata salah. Banyak pria seusia Ayah masuk ke kamar Ibu, mereka mengangkat Ayah ke luar kamar, lantas menaruhnya di ruang tamu yang hanya beralas kain.

Aku tambah bingung dibuatnya. Beberapa pertanyaan muncul seketika di otakku. "Kenapa mereka mengangkat Ayah, bukankah Ayahku bisa berjalan sendiri? Ayah tidurnya nyenyak sekali, ya."

Ibu menangis, dalam tangisnya ia menyebut nama Ayah. Bibi mencoba menenangkan, tangannya mengusap punggung Ibu. Samar-samar kudengar bisikan Bibi pada Ibu.

''Yang sabar, Dinda. Setiap manusia pasti akan kembali kepada Tuhan.'' Dahiku berkernyit. Apa yang dikatakan Bibi tadi? Tuhan itu siapa? kenapa dia mengambil Ayah? Saat itu aku benar-benar tidak mengerti tentang arti kematian. Aku masih kecil.

Aku berjalan menghampiri Ibu, dia memelukku erat. Aku masih saja menanyakan 'Kenapa Ayah tetap tidak bangun?' dan pertanyaanku cukup membuat Ibu semakin menangis. Kak Mahesa mengambil alih aku dari pelukan Ibu, lantas menyuruhku untuk tidak menanyakan seperti itu. Suatu saat nanti kamu akan mengerti, katanya.

Dua jam berlalu, Ayah sudah dimandikan, pun sudah dibungkus dengan kain kafan. Aneh sekali orang sekitar, mereka membungkus Ayahku seperti lontong. Sekilas aku melihat Ibu di hadapan, ia sudah tidak lagi menangis, hanya tinggal sesenggukan yang tak kunjung hilang. Mereka semua membaca doa tahlil.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang