Pertemuan yang Singkat

120 12 0
                                    

Setres dengan keadaanku saat ini. "Mungkin ke taman bisa refreshing kali ya," gumamku sambil beranjak dari tempat tidurku. Aku pun bersiap siap pergi ke taman.

Sesampainya di taman aku pun duduk di kursi yang kosong, menutup mata menikmati angin sepoi.

"Permisi, boleh duduk dinsini kan?" ucap seorang wanita padaku.

"Oh tentu, duduk aja," jawabku dengan senyum manis semanis gula ehek.

"Kenalin namaku Citra Kamelia, panggil aja Lia," ujarnya dengan senyum manis, tapi masih manisan aku. "Boleh temenan kan?" sambungnya lagi.

"Eh boleh kok, namaku Jihan Amara Alexander panggil aja Mara," jawabku sambil senyum pepsodent.

"Heft haah, rasanya damai yah seperti ini," ucapnya menikmati angin sepoi.

Cuaca hari ini agak mendung, ditambah angin sepoi sehingga membuat kedamaian bagi orang yang menikmatinya.

Tiba-tiba dia menarik tanganku. "Ini untuk Mara, mulai sekarang kita sahabat, ya," ungkapnya setelah memasangkan gelang di tanganku dengan senyum cengir.

Aku terkejut 'What? Sahabat? Ni orang s--sehat?' batinku. Bagaimana ga terkejut, kami aja belum kenal begitu dekat dan dia seenak dagu bilang sahabat. Emang bisa gitu?

"Kamu mau kan jadi sahabatku? Plis, mau ya," pintanya memohon. Ingin sekali kutolak, tapi entah kenapa nih hati buat nerima permintaannya. "Emm, iya mau kok,"

"Yeay, sekarang kita jadi sahabat ya. Kalo Mara ada masalah tentang apa pun itu cerita ke aku ya. Jangan dipendam sendiri, janji?" ucapnya sambil menunjukkan jari kelingkingnya.

'Buset dah, udah pake janji janji aja ni upil semut,' batinku menggerutu.

"Iya dah janji," balasku. "Em aku mau nanya, kenapa Lia ingin jadi sahabatku?" tanyaku heran. Jujur aku masih heran kenapa dia tiba-tiba ingin jadi sahabatku? Aneh bukan?

"Ya pengen aja hehe," jawabnya asal.

"Eh, Mara yok main ayunan," ajaknya sambil menarik tanganku yang lembut ini. Entah kenapa aku ga bisa nolak permintaannya, seakan-akan aku sudah terhipnotis olehnya.

"Ayo naik ra, biar lia yang ayun."

"Eh, ini kan untuk anak-anak. Ya kali kita naikin. Kena marah entar, udah ah ga usah."

"Ga kok ra, tenang aja aku yang tanggung jawab," ujarnya sambil bergaya seperti superman, yang membuatku tertawa geli.

"Ayun yang kenceng ya, biar anginnya makin banyak," pintaku pula. Dia pun mengayunku dengan kencang, seru rasanya seperti terbang. "Huahh, lia udah nanti kamu capek."

"Hehe oke deh." Lia pun berhenti mengayunku. "Eh ra, aku ada satu permainan lagi nih main yok," ucapnya dengan antusias.

"Ha? emang Lia ga capek apa?" tanyaku heran.

"Kagak lah, masih semangat nih," jawabnya dengan semangat empat lima.

Aku tertawa melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan, dia lucu.

"Ayo mau kan?" tanyanya lagi.

"Yaudah ayo, permainannya kek mana?"

"Kita lomba lari sampe tiang itu, tapi sebelum itu kita muter muter dulu biar linglung hehe," jelasnya panjang kali tinggi.

"Yaudah ayo, siapa kalah dia traktir bakso ya," jawabku dengan semangat pula. Kami pun muter muter sampai beberapa menit.

"Berhenti Ra, kita mulai ya larinya ya, satu dua tiga mulai." Kami pun berlari dengan linglung dan 'bruk' kami menabrak satu sama lain. Tidak ada pemenang, kami tertawa lepas di atas rumput.

Aku menatap wajahnya. 'Apa dia bertingkah seperti ini setiap harinya,' batinku.

"Em lia, boleh nanya?" ucapku. "Boleh dong, mau nanya apa ra?"

"Em, a--apa Lia setiap hari bertingkah seperti ini?" tanyaku gugup.

"Ga sih, aku hanya bertingkah seperti ini kalau ada masalah hehe," ucapnya cengengesan.

"Ha? Kenapa gitu?" tanyaku heran, dia berkata, "Ya karena dengen begitu, aku bisa menepi dari beban masalah yang kudapati."

Dia memandang awan mendung. "Terkadang kita perlu bersikap seperti anak-anak yang tidak ngerti apa itu beban hidup untuk menepi dari masalah yang dihadapi. Bersemangat seperti anak-anak yang tidak kenal nyerah, untuk meraih mimpi."

"Jangan ubah komitmen yang udah direncanakan hanya karena keadaan yang terus mencekam," ucapnya tersenyum.

"Kalau dengan nangis bisa menenangkan kamu dari masalah maka nangis aja," sambungnya. "Jangan berhenti meraih mimpi, meski orang yang kita sayang mematahkan semangat kita," katanya lagi.

"Bagaimana bisa bertahan untuk meraih mimpi, jika rumah tempat pulang, rumah tempat berkeluh kesah, menjadi rumah yang buruk," ucapku tanpa sadar.

"Kalau gitu ubah lagi rumah yang buruk itu seperti rumah yang dulu, rumah kita surga kita, tapi bukan berarti keadaan rumah itu seperti surga setiap harinya, pasti ada kalanya ada masalah yang datang. yang menjadikan rumah surga itu penghuni nya, bagaimana caranya agar rumah itu tetap menjadi rumah ternyaman," ucapnya yang membuatku terdiam.

Benar katanya, kenapa aku ga berpikir seperti itu ck dasar bodoh. 'Baiklah akan ku ubah keadaan rumahku itu,' ucapku dalam hati.

"Lia makasih ya," ucapku pada Lia.

"Kita kan sahabat, harus ada satu sama lai dong eakk haha," ucapnya cengengesan. "Ra yok beli bakso di sana," ucapnya sambil menunjuk tukang bakso di seberang jalan.

"Yaudah ayo." Dia berlari sambil berkata, "Siapa yang lama sampe dia yang bayar."

"Heh curang, tunggu woi upil semut," teriakku sambil berlari mengejarnya. 'Wah gila, kencang amat lari tu anak,' gumamku sambil terus berlari, tanpa kusadari ada lubang kecil dan 'bruk' aku tersandung. 'Dah lah nyerah aja, huh dasar upil semut,' gerutuku.

Aku kembali berdiri dan berlari lagi, sampai dipinggir jalan aku melihat orang ramai ramai. 'Loh kok tiba tiba ramai' batinku.

"Permisi buk, ini kenapa ramai ramai ya?" tanyaku pada ibu ibu. "Itu ada anak gadis ketabrak truk, kasian banget." Jleb, tiba tiba perasaanku tidak enak. Aku menorobos kerumunan tersebut.

Lia? Aku gemetar, air mataku tiba tiba mengalir. Aku langsung memangku lia yang bersimbah darah "L--lia, plis bertahan," ucapku dengan serak.

"M--mara jangan nangis, n--nanti aku ikut nangis tau," ucapnya dengan suara yang gemetar.

"Bagaimana aku bisa berhenti jika melihatmu seperti ini?"

"A--aku gapapa kok mara," katanya dengan senyuman. "Mara, jaga d--diri baik baik ya, ingat m--mara harus kuat j--jangan pernah nyerah a-aku akan dukung mara selamanya. M-maaf aku datang terlambat." Jleb.

"Lia? Lia bangun, Lia ga boleh pergi. Plis b--bangun lia." Aku menangis sejadi jadinya setelah melihat dia tak lagi bernafas. Kenapa takdir begitu kejam? dia mempertemukanku dengan lia, tetapi baru sesaat takdir memisahkanku dengan lia.

Nama : Gin
Judul : pertemuan yang singkat
Jumkat : 971

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang