Manipulatif

31 3 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain sebagainya

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

"Nara!" teriak seseorang menghentikan langkah seorang gadis yang tengah berjalan di lorong koridor sekolah.

Gadis yang dipanggil Nara itu pun seketika menghentikan langkahnya, dan menoleh ke sumber suara. Di ujung koridor, Nara mendapati seorang gadis yang tengah berlari menuju ke arahnya.

"Nar," ucap gadis itu ngos-ngosan. "Bareng ke kelas, yuk!" ajak gadis itu dengan mengapit lengan Nara. 

Nara hanya memasang wajahnya datar, tanpa ingin menanggapi Amerta—salah satu teman sekelasnya.

Setibanya di depan kelas, Amerta langsung memasuki kelas dengan heboh.

"Pagi, Guys! Red karpetnya mana nih? Tuan Putri mau lewat." Dengan santainya, Amerta memasuki kelas layaknya Tuan Putri dengan tetap menggandeng lengan Nara.

Amerta dan Nara kini menjadi tontonan temen sekelas mereka. Tak ayal, beberapa di antara mereka pun ikut bersorak menyambut kedatangan Amerta. "Ayo kita beri sambutan kepada tuan putri tercinta kita."

Dengan heboh mereka pun bertepuk tangah meriah seolah menyambut kedatangan Amerta dan Nara.

Nara yang melihat tingkah gadis di sampingnya itu, hanya bisa memutar bola matanya malas, tak lupa dengan ekspresi datar yang selalu menghiasi wajahnya.

Ini bukan kali pertamanya mereka menjadi tontonan di depan kelas, ini sudah sering terjadi, bahkan hampir tiap hari. Kalau ditanya apa Nara malu? Ya,  jawabannya ia sangat malu. Namun, di satu sisi ia bersyukur karena bisa memiliki teman seperti mereka semua, terutama Amerta.

Nara yang kalem dan pendiam, dipertemukan dengan gadis sebar-bar Amerta.

"Selamat pagi, Kanara Arunika," sapa Asrar—salah satu teman sekelas Nara.

Nara yang mendengarnya seketika tersenyum tipis. "Pagi."

"Tugas matematika Nara, sudah selesai?" tanya Asrar tanpa basa-basi.

"Yee, lo mah kalau ada maunya pasti anak orang dibaik-baikin," sergah Amerta dan menarik lengan Nara menuju bangku mereka.

"Ra, lain kalo kalau ada orang kek gitu gak usah kamu tanggepin," ucap Amerta sinis, dengan sesekali melirik ke arah Asrar. "Jangan mau dimanfaatin!" lanjutnya.

"Gak papa, Ta, setidaknya dengan begitu aku bisa bantuin mereka." Nara membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buka dari dalam tasnya.

"Ye lo mah, kalau dibilangin ngeyel mulu," kesal Amerta.

Amerta kesal dengan Nara yang terlalu baik, tidak! Bukan seperti itu. Amerta hanya tidak suka ketika Nara begitu mudahnya meminjamkan pekerjaan rumahnya kepada yang lain, Nara sudah berusha mati-matian buat nyelesain soalnya, dan mereka malah enak-enakan nyalin tugas Nara. Termasuk dirinya juga sih, hehe.

Nara yang melihat wajah kesal Amerta, seketika menghela napas.

"Kamu gak mau nyalin juga?" tanya Nara.

Nara yang tak kunjung mendapat respon dari Amerta seketika berujar, "Jangan salahkan mereka yang datang hanya karena perlu, karena tanpa kita sadari kita juga seperti itu kepada-Nya."

Amerta yang mendengar penuturan Nara seketika tersadar. "Tapi kan."

"Sudah, mending sekarang kamu kerjain tugas kamu! Keburu Pak Bayu masuk," potong Nara dengan menyodorkan buka tugasnya kepada Amerta. Amerta pun menurut dan mulai menyalin tugas Nara.

"Ta, kamu gak tahu terkadang mereka yang suka menolong itu nyatanya adalah orang yang selalu ditolak, bahkan terkesan tidak dihargai. Mereka melakukan itu karena mereka tahu gimana rasanya di saat mereka butuh. Namun, tidak seorang pun yang ingin menolong mereka," lirih Nara yang tidak seorang pun mendengarnya.

***

"Ra, kamu kerja di kafe?" tanya Amerta.

Saat ini mereka tengah 'Free class' alias jam kosong, karena Pak Bayu yang mengisi jam pertama di kelas mereka tengah berhalangan untuk hadir.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Nara tanpa menjawab pertanyaan Amerta.

"Aku gak sengaja lihat kamu pulang dari kafe semalam," jawab Amerta.

Nara hanya terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Hingga saat ekor matanya tidak sengaja menangkap sebuah sayatan kecil di lengan Amerta, banyak pertanyaan yang muncul di benak Nara. Namun, ia hanya memendamnya.

"Ta, ke kantin, yuk! Laper," ucap Nara mengalihkan pembicaraan.

"Ya udah, yuk!"

Sesampainya mereka di kantin, Nara dan Amerta bergegas menuju pojok kantin yang masih belum terlalu ramai. Setelah itu, mereka pun memesan makanan dan menyantapnya dengan hikmat.

"Ra, kamu beneran kerja di kafe?" tanya Amerta lagi. Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, ia pun menanyakannya kembali.

Nara yang mendengar pertanyaan Amerta hanya bisa menghela napas pelan.

"Aku lagi butuh uang, makanya kerja paruh waktu di kafe," jawab Nara jujur.

Nara memang sangat membutuhkan uang untuk keperluan sehari-harinya, apalagi kondisi keuangan keluarganya yang tidak pernah stabil membuat Nara harus berhemat. Namun, karena keadaan yang semakin memburuk,  membuat Nara terpaksa bekerja paruh waktu di salah satu kafe.

"Kamu, ada masalah keuangan?" tanya Amerta hati-hati, ia tidak ingin pertanyaannya menyinggung Nara.

"Tidak, hanya masalah kecil," jawab Nara dengan tersenyum kecil.

Amerta diam, ia tidak ingin lagi bertanya. Karena ia sadar, semua orang memiliki privasi, begitu pun dengan Nara.

"Ta, aku boleh nanya?" ucap Nara memecah keheningan.

"Apa?" Amerta mengangkat wajahnya dan menatap Nara.

"Itu." Nara berujur dengan arah tatapan yang tertuju pada lengan kanan Amerta.

Amerta yang sadar akan tatapan Nara, seketika menutup lengannya cepat.

"Ahh, ini, apa itu ... hanya luka kecil. Kemarin aku gak sengaja kegores peniti yang tertinggal di kasur," ucap Amerta dengan menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Nara yang melihat Amerta, seketika tersadar bahwa Amerta sedang menutupi sesuatu darinya.

"Semangat ya! Kamu hebat, karena bisa bertahan sejauh ini," tutur Nara entah apa maksudnya.

Amerta yang mendengar penuturan dari Nara, seketika tersenyum hangat.

"Makasih, Ra."

"Ra, menurut kamu orang yang suka menutupi penderitaanya dengan senyuman, itu bagaimana?" tanya Amerta. "Apa mereka termasuk orang yang munafik?"

"Menurutku, sih, tidak," jawab Nara. "Karena tiap orang pasti memiliki cara dalam mengatasi tiap masalah mereka, mungkin saja ada yang terlihat selalu mengeluh atau bahkan hanya diam. Tergantung sih menurutku."

"Hmm, gitu, ya? Tapi bukankah itu termasuk menipu orang lain?" tutur Amerta.

"Menipu? Menipu dari mana? Intinya gini, banyak orang yang menutupi luka mereka bukan karena tidak ingin dikasihani atau diketahui banyak orang. Hanya saja itu cara mereka untuk bertahan, bertahan dari dunia yang terlalu banyak menuntut."

"Jangan pernah bandingkan hidupmu dengan orang lain karena tiap orang adalah tokoh utama dalam cerita mereka sendiri. Bukan hanya kamu, tapi masih banyak lagi di luar sana," ucap Nara panjang lebar.

"Balik ke kelas, yuk!" ajak Nara.

"Yuk!" Amerta meraih lengan Nara dan menggandengnya.

--

Sulawesi Selatan, 01 Juni 2023

Nama: Nurul
Jumlah kata: 983

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang