Hilang dan Pulang

33 2 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain sebagainya

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Tak terasa sudah satu tahun lebih Alina ditinggal oleh orang yang dicintainya. Sudah banyak fase air mata yang ia lewati. Telah banyak waktu yang ia buang habis sia-sia hanya untuk mengenang dia yang pergi meninggalkannya.

Kini, sisa-sisa memori indah terekam jelas dalam ingatan berubah menjadi putaran menyeramkan yang tak akan Alina simpan lagi. Baginya, sudah cukup mengingat hal yang hanya menyeretnya ke arus yang membingungkan tanpa arah. Ia punya tujuan, dan ia tak boleh berbelok arah hanya karena seseorang yang bahkan tak pernah memedulikan dirinya lagi. Ia punya prinsip, dan akan ia pertahankan prinsip itu.

Rona biru cerah berjalan menggeser kelamnya hitam di saat malam. Hiruk pikuk  orang-orang ikut membangunkan Alina dari mimpi buruknya yang terasa nyata. Tidak, maksudnya, itu memang nyata.

“Selamat pagi! Apa sudah ada yang turun untuk memulai kegiatan sarapan?” tanya gadis bermata cokelat itu. Jari-jari lentiknya bergerak mengambil sepotong kue di atas meja.

“Sudah, dong. Ini aku!” Seorang gadis kecil yang diperkirakan berusia 10 tahun mengangkat satu tangannya dengan semangat. Matanya berbinar pancarkan keceriaan.

Elusan lembut Alina berikan pada adik bungsunya itu. Lengkungan tulus yang tak lama terlihat ia tampilkan khusus untuk sang adik sebagai orang pertama yang menyaksikannya. “Anak pintar. Begini terus, ya. Turun untuk sarapan tanpa disuruh,” ucapnya ramah.

Mata besar yang diwariskan dari sang ibu itu tiba-tiba membelalak diiringi mulut yang dibekap oleh tangan sendiri. Bibirnya tak sanggup menahan lengkungan yang bergerak sendiri ingin membentuk senyuman nan manis. “Demi apa, woy! Kak Alin senyum lagi setelah sekian lama!” seru gadis bernama Kayla itu. Hatinya mengharu, tetapi sifat cerianya membuat rasa haru itu tergambarkan lewat kehebohannya.

“Hahaha, iya, dong. Mau sampai kapan, 'kan, Kakak sedih terus?” tanya Alina seraya mencubit gumpalan kenyal di wajah Kayla.

Jemari lentik itu kemudian menggeser salah satu kursi berwarna cokelat tua, lalu ia duduk di atasnya. Matanya berbinar-binar menatap deretan menu sarapan yang tampak menggugah selera. Maryam—sang ibu—tersenyum haru melihat kembali putrinya bahagia setelah sekian lama terpuruk dalam lubang keputusasaan.

“Lina, nih, makan yang banyak, ya. Ibu sengaja masak banyak hari ini,” ujar Maryam dengan sorot mata yang mengarah lembut pada Alina. Tangannya yang sudah keriput ikut membantu menyiapkan makanan ke atas piring masing-masing.

Mata binar itu berubah menjadi genangan air yang tertahan di pelupuknya. Warna hitamnya bergerak ke sana ke mari mengikuti arah pergerakan sang ibu. Entah apa yang kini mengisi ruang hatinya. Perasaan harus, kah? Atau yang lainnya?

“Bu, maafin aku, ya. Selama ini aku terlihat tak begitu peduli sama Ibu. Semenjak kejadian yang membuatku patah hati itu, aku seolah lupa pada semua hal. Duniaku seakan-akan hanya masa laluku saja. Aku sempat lupa bahwa ada yang lebih penting dari semua itu, yaitu ibuku sendiri,” ungkap Alina dengan nada yang diiringi getar-getaran menahan tangis. Tangan yang semula terdiam di atas meja seolah bergerak dengan sendirinya menggenggam tangan kasar ibunya.

“Nggak papa, Ibu paham, kok, perasaan kamu. Gak ada yang salah di sini. Semua terjadi atas takdir Tuhan yang telah digariskan. Percayalah, yang hilang pasti akan kembali.” Sang ibu membalas perkataan putrinya disertai belaian penuh kasih sayang yang ia salurkan dari tangannya.

Sudut bibir Alina tertarik membentuk senyuman nan tipis dan lebih terlihat seperti terpaksa. Hatinya mencurahkan kalimat-kalimat yang menyatakan kemarahan, perasaan ketidakadilan, dan menggaungkan ke-bullshit-an omongan para lelaki hidung belang.

Faktor masa lalu benar-benar telah mengambil alih hidup tenangnya. Ia tak benar-benar sembuh. Nyatanya sisa-sisa luka masih tersisa dan sulit untuk membuat hatinya sangat bersih dari kepingan luka itu. Jika dikatakan mati rasa, mungkin iya, tetapi tak sepenuhnya. Karena pada dasarnya, sebagai perempuan, Alina masih memiliki perasaan dan harapan akan seseorang yang kelak benar-benar bisa menepati janjinya dan membantunya agar kepercayaannya yang dahulu dapat kembali lagi.

***

“Alina!”

Suara seorang lelaki bergema memekakkan telinga perempuan itu. Lirikan penuh keingintahuan seolah menyambut kedatangannya di kampus ini. Pipinya berubah merah muda, menahan perasaan malu saat mata-mata itu menatapnya aneh.

“Rian! Ngapain kamu teriak-teriak? Malu tau, aku jadi diliatin,” omelnya dengan nada tak suka.

Lelaki itu bertingkah tidak jelas. Tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya sambil tertawa cengengesan. Namun, masih dapat terlihat matanya tengah memandang perempuan di hadapannya dengan penuh ketertarikan.

“Abis matkul kedua, kita makan siang bareng di kantin, yuk!” ajaknya tampak tak sabar.

Bulu-bulu nan tipis di kening Alina tampak bergerak hingga keduanya menyatu. “Bukannya setiap hari juga kita memang selalu makan siang bareng di kantin?” tanya Alina disertai perasaan yang kini berubah menjadi penasaran. Ia berpikir, Rian hari ini terlihat berbeda. Terlihat lebih ceria, tidak sabaran, dan sangat antusias.

“Iya, eh, anu ... itu ... aku mau sambil bilang sesuatu. Gitu, Lin,” jawab Rian. Laki-laki itu seolah kesulitan untuk mengatur kata-katanya. Tubuhnya tampak kaku saat berhadapan dengan perempuan itu.

“Oh, gitu. Iya, siap. Nanti aku ke sana, kok. Ya udah, sampai jumpa nanti, ya!” sahut Alina, lalu lekas berlalu menuju kelasnya.

Laki-laki itu berdiri mematung sendirian di koridor kampus yang cukup ramai itu. Tak ia pedulikan tatapan penuh keheranan dan bisikan-bisikan orang-orang yang tengah menggosipkannya. Karena saat ini, perasaannya tengah mengambil alih pikirannya. Ia tersenyum penuh kebahagiaan sepeninggal Alina.

***

“Aku siap menikahi kamu secepatnya kalau kamu memang gak mau menggantung hubungan kita ini, Alina.”

Jantung Alina tiba-tiba berpacu cepat. Tangannya yang tengah memegangi sendok bergetar hebat seolah baru saja tersetrum. Mulutnya tak dapat berkata-kata. Bahkan, matanya yang semula berani menatap kedua manik milik Rian kini justru berusaha menghindari kontak matanya itu.

“Aku mau bahagiain kamu. Aku selalu berdoa setiap malam agar Tuhan mempersatukan aku denganmu. Sebelumnya aku gak berani, tapi setelah aku mendapat keyakinan, akhirnya aku memberanikan diri buat nyatain perasaan ini ke kamu. Bolehkah aku memilikimu seutuhnya, Alina?”

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba tangis Alina pecah. Sendoknya pun terjatuh dan langsung diambil kembali oleh Rian. Perempuan itu tak dapat memberikan jawaban apa pun. Ia bahkan tak tahu bagaimana perasaannya kini. Antara sedih, ataukah bahagia?

Rian menatap sendu perempuan yang dicintainya menangis seperti itu. Ia tahu bagaimana masa lalu Alina. Itulah mengapa ia sempat ragu untuk menyatakan perasaannya ini. Namun, dengan tekad kuatnya tak akan ia biarkan masa lalu Alina kembali terulang.

Haru, jelas. Tak pernah Alina bayangkan akan ada seorang laki-laki yang benar-benar mencintainya setulus itu. Dibuktikan dengan tekad untuk menikahinya, apakah ia harus menganggap itu adalah sebuah ketidakseriusan? Tak dapat dimungkiri, hatinya tiba-tiba menghangat mendengar pengakuan tersebut.

“Yang hilang akan pulang, Alina, meskipun dalam bentuk yang lain. Aku selalu berharap akulah yang nantinya akan menjadi sesuatu yang pulang itu. Karena sejatinya, tak ada yang benar-benar pergi. Hanya saja, mereka kembali dalam bentuk yang berbeda. Yang lebih baik, yang lebih dapat membuatmu mengerti arti sebuah takdir Tuhan tak seburuk itu.” Rian berucap hingga membuat Alina yang semula menunduk kini mengangkat wajahnya. Matanya sudah memerah padahal baru beberapa menit menangis.

“Dan kamu harus tahu, semua itu tak akan terjadi tanpa keikhlasan menerima takdir-Nya,” ucap laki-laki yang kini tersenyum begitu tulus.

Garut, 27 Mei 2023

Nama: Moonstruck Chil
Jumlah kata: 1142

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang