AKU DAN RINDU

28 2 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain lain.

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Kakiku berdiri di atas bukit. Dari bawahnya terdengar deburan ombak yang menghantam karang. Suara burung berkicau menyatu dengan desiran angin pantai yang menyapu wajah, membawa helai-helai rambutku menari di udara. Seolah-olah, hanya ada aku dan alam.

Tiba-tiba ada sekilas bayang.

Punggung kekar milik sesosok pria membelakangiku. Tawa renyahnya terdengar, memaksa masuk ke dalam telinga. Pria itu lalu menoleh, melempar senyum paling manis yang menghangatkan hati. Ia merentangkan tangan, mengisyaratkanku agar masuk ke dalam dekapan.

Untuk sesaat, waktu berhenti. Alam tak bersuara lagi.

Yang bisa kudengar hanya hembusan napas sendiri.

Kakiku melangkah.

Mendekat.

Kamu di hadapanku.

Aku terpaku, tak percaya.

Mataku berkedip,

dan secepat itu kamu pergi.

Kakiku kehilangan kekuatannya, tak bisa lagi menopang tubuhku.

Pandanganku lurus. Di kejauhan sana, di bentangan cakrawala—ada lengkungan putih yang memisahkan laut dan langit. Namun, ini bukan tentang laut dan langit.

Perlahan, matahari terbenam. Meninggalkan aku bersama rindu yang tak pernah padam.

Dulu, di atas bukit pantai ini, pernah ada aku, kamu, dan senja kita.

Awan-awan berkumpul, bersekongkol menyembunyikan semburat senja yang bahkan baru saja terlihat. "Sekarang hanya ada aku," gumamku. "Kamu pergi, dan kali ini senja kita juga pergi. Apa sungguh, kini memang hanya ada aku?"

Aku hanya bisa berlarut di dalam kerinduan yang mengepung, pula berlutut di depan cahaya temu yang perlahan mendung.

Tak lama, hujan pun turun.

Apa semesta mengasihaniku? Namun, sudikah ia menangis bersamaku? Atau mungkin, rintik-rintik ini adalah bentuk ejekannya?

Aku mengangkat kepala menatap langit. "Lihatlah, bahkan semesta pun tak mengizinkan diriku untuk bertemu senja, senja kita, apalagi denganmu ...," lirihku.

"Aliaa! Ayo, pulang! Hujannya makin deras!"

Ya, memang.

Peduli apa mesin cuaca?

***

"Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa ada yang namanya rindu?"

"Liaa, kamu bicara denganku?"

Aku menggeleng tanpa mentap orang yang bertanya. "Aku tidak bicara dengan siapa-siapa."

"Sudah kubilang, dia tak waras."

"Ayo, kita pergi. Tinggalkan saja dia."

Dua orang di sebelahku itu bangkit. Aku menatap kosong kedua punggung yang perlahan pergi meninggalkanku. "Seharusnya suara bisikan mereka bisa lebih diperkecil lagi."

Tak waras katanya. Aku tertawa kecil. Mungkin, iya.

Aku menatap buku yang sedari tadi kupegang. Buku itu milikku. Sudah lama sekali, sejak terakhir kali kubuka lembarannya. Biar kuberi tahu, semua lembar buku itu merangkum segala tentangmu. Segalanya, dalam arti sebatas yang kutahu.

Aku hanya menyimpan. Sebab, setiap kali rindu meneror. Buku itu adalah penyelamat.

"Karena hujannya sudah reda, kita kembali ke kampus sekarang, yaa."

Aku berdiri dari dudukku dan bersiap pergi.

***

Aku menatap telepon genggam yang menampilkan sebuah foto pria si pemilik hati. "Untuk ke sekian kalinya aku meminta, bisakah datang bertamu untuk sekedar saling memeluk?"

Lagi dan lagi, seperti ini. Tiada hari tanpa pikiran yang disibukkan perihalmu. Untung saja, kali ini langit malam beserta sahabatnya—bulan dan bintang setia menemani.

Aku menghela napas. Menatap gugusan bintang yang menciptakan berbagai macam rasi dari balik jendela bus. Bintang-bintang itu terlihat mengelilingi sang bulan seolah ia adalah titik sang bintang berotasi. "Jika saja bisa, aku akan mengganti bulannya denganmu, dan aku sendiri yang akan menjadi ribuan bintang itu," kataku dan tersenyum kecil.

Tak bisa kuhitung dengan jari tangan, berapa kali kamu sudah memenuhi kepalaku hari ini dan menjebak semua isinya hanya bersamamu. Pun berkali-kali aku mengutuk diri sebab ini semua juga salahku. "Memang salahku, aku yang tak bisa berhenti membiarkanmu mengisi pikiranku."

Beberapa lama kemudian, bus berhenti di depan kampus. Dari sini, aku pulang sendiri dengan berjalan kaki.

Kutelusuri jalan setapak dengan pikiran kosong. Sebenarnya, kakiku melangkah atas kehendak hati yang dipaksa oleh rindu. Satu demi satu pijakan kakiku di jalan ini, adalah satu demi satu langkah yang mengupas nostalgia. Masih kuingat, bagaimana canda dan candu dua sejoli menjadi satu di jalan ini, walau ada rinai semesta di tengahnya.

Seketika sekelilingku berubah hitam putih. Seperti drama di film-film, mataku menangkap adegan lampau layaknya adegan kaset rusak yang berputar di ingatan.

Bak anak-anak berusia lima tahun, lelaki dan perempuan itu bermain dengan genangan air sambil tertawa. Rinai semesta yang kusebut tadi membasahi mereka. Bukannya pergi menepi—atau ke mana pun itu untuk berteduh, mereka malah menikmatinya.

Lama. Lama sekali adegan itu ada, hingga telingaku kesakitan mendengar tawa dan mataku mendadak buram.

Aku menghentikan langkahku. Sudah cukup, aku lelah. "Tolong pulang, temui aku dan rindu yang sudah lelah berjuang."

Kini, rinai itu ada di pipiku.

SELESAI

Jakarta Utara, 27 November 2022.

Nama: Putri Lidia
Jumlah kata: 701

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang