Penyesalan

54 3 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama, tempat, latar, dan lain-lain.

Selamat membaca dan selamat menikmati. Semoga suka. Terima kasih.

* * *


Pada pagi hari yang cerah, aku terbangun oleh sinar matahari. Ah! Rasanya aku tidak ingin bangun. Mataku bengkak, badanku terasa berat. Air mataku yang sedari tadi kutahan jatuh. Aku memutuskan untuk tidak sekolah. Aku teringat sosok sahabat yang sangat baik, tetapi sahabatku saja yang salah memilih. Dia memilihku yang bodoh ini. 

Di sini aku akan menceritakan persahabatanku yang hancur karena kebodohanku.

Pada hari itu awal masuk sekolah, aku mendapatkan teman yang lumayan banyak. Namun, ada dua sahabat yang kudapatkan. Akan tetapi, aku sepertinya harus memilih di antara mereka karena mereka susah untuk akrab. Aku memilih sahabatku yang baru saja aku kenal beberapa bulan, dibandingkan dengan sahabat sejak kecilku. Alasan aku memilih sahabat yang baru saja aku kenal adalah sikapnya. Dia ramah, baik, dan perhatian. Namanya Sasa. Namun, aku rasa aku salah memilih sahabat, sikapnya saat awal-awal bertemu sangat baik.

Dua tahun kemudian, aku membuat kesalahan dan akhirnya sekelas membenciku. Sintia, hanya dia yang ingin berteman denganku, meskipun tidak seperti dulu. Sasa, sahabat yang kupilih seketika menjauh.

"Hai," sapaku pada Sasa, tetapi dia hanya diam seakan tidak mendengar ucapanku. Saat itulah aku sadar atas kebodohanku. Aku berusaha ingin akrab kembali dengan Sintia. Namun, tidak semudah kelihatannya.

Pada keesokannya. "Li, lo gak usah sok akrab sama gue, emangnya lo siapa? Caper banget!" cetus Sasa. Kaget? Aku tentu kaget.

"Kok kamu gitu, aku ada salah apa sama kamu, Sa?" tanyaku.

"Yang jelas persahabatan kita sampai di sini aja, gue gak mau temenan sama lo!" ucap Sasa.

"Kamu kok tega? Aku rela memilih kamu jadi sahabat aku. Ternyata aku salah memilih, nyesel sumpah," ujarku.

"Nah, itu salah lo!" cetus Sasa. "Lagi pula gue gak pernah suruh lo milih sahabatan sama gue. Tau gak alasan gue pengen sahabatan sama lo?" tanya Sasa.

"Apa?" tanyaku balik.

"Lo terlalu labil, Li, gue cuma manfaatin lo doang," ujar Sasa.

Aku segera pergi dari kelas yang hanya aku dan Sasa saja yang di sana. Aku berlari pergi ke taman belakang. Aku menangis tanpa bersuara. Mulai dari situ aku mulai dijauhi teman-teman kelasku. Jika aku bisa memutar waktu aku ingin memutarnya.

Aku jadi teringat ucapan Sintia. "Li, sampai kapan pun kita tetap akan jadi sahabat," ucap Sintia. Lagi-lagi air mataku tumpah, rasanya aku ingin teriak. Namun, aku sadar ini masih di sekolah.

Mencari sahabat sejati itu sulit, apa lagi jika kita pernah membuat kesalahan yang cukup besar. Berteman mungkin masih bisa, tetapi jika akrab kembali sangat susah. Pertemanan bukan mainan, apa lagi yang namanya sahabat.

***

Pada keesokannya aku ingin meminta maaf pada Sintia, juga ingin mengajak dia bersahabat lagi. Ada rasa ragu dalam hatiku. Namun, aku berusaha untuk tidak ragu.

"Hai," sapaku, dia hanya membalas dengan senyumannya.

"Sin, kamu mau gak bersahabat denganku lagi? Aku minta maaf, aku menyesal memutuskan persahabatan ini," ajakku.

"Maaf, Li, aku memang kecewa. Namun, kalau mau bersahabat aku belum bisa. Bersahabat bukan permainan. Kamu gak bisa seenaknya minta maaf, lalu kembali. Li, aku juga punya perasaan, gak seenaknya kamu permainkan," ucap Sintia.

"Oke, aku ngerti. Makasih udah terima aku sebagai temanmu, meski bukan sahabat kayak dulu," ucapku.

"Maaf ya, Li. Aku bukannya menolak untuk berteman lagi sama kamu, hanya saja aku belum mau bersahabat dulu. Ingat kata-kataku, persahabatan bukan permainan yang seenaknya minta maaf, pergi, lalu kembali lagi," kata Sintia.

"Iya, Sin. Aku ngerti kok," ucapku.

"Ya sudah, aku pergi dulu, ya," pamit Sintia.

Benar ya kata orang, penyesalan selalu datang pada akhir dan awalnya bisa dibilang pendaftaran. Sekarang kami sudah lulus, dia bersekolah di luar kota.

Kata-kata yang tertunda yang ingin aku sampaikan. Namun, belum sempat, "Makasih untuk waktu lima tahunnya, meskipun sekarang kita bukan sahabat lagi. Makasih waktu-waktunya, aku sangat bersyukur pernah mengenalmu. Meski sekarang kita sudah tidak pernah bertemu. Semangat lawan penyakitnya, aku yakin pasti Sintia sembuh. Sintia, aku tahu kamu kuat, kuat banget. I miss you."

Persahabatan bukan permainan. Jangan pernah mempermainkan yang namanya persahabatan.

Sangat sulit mendapat sahabat yang baik, ramah, dan setia. Buktinya saya belum mendapatkan sahabat yang seperti Sintia lagi.

Semuanya sekarang hancur, yang tersisa hanya kenangan indah.

Rasanya aku ingin sekali mendengar suaranya. Tempat curhatku, teman ghibahku, dan teman bermainku. Sekarang sudah tidak ada lagi. Sintia adalah salah satu sosok penting di dalam hidupku.

Bahkan sampai sekarang penyesalan itu tidak akan pernah terhapus. Jika teringat kembali kenangan aku dan Sintia mata ini akan selalu ingin menangis.

TAMAT.

Penulis: Lili T
Jumkat: 707

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang