Terserah Aku Lemah

45 4 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama, tempat, latar, dan lain-lain.

Selamat membaca dan selamat menikmati. Semoga suka. Terima kasih.

* * *

  

Aku di sini, di pojok kamar dengan menulis diary. Duduk menyendiri tanpa ada yang menemani, masih mencari diksi yang bersembunyi di ujung luka ini. Masih memikirkan diksi yang akan kutulis hari ini, tetapi ia seolah hilang tertelan oleh kelamnya malam. Suara angin malam bagiku adalah syair-syair kelam yang menyapa kenangan.

Ini cerita tentangku. Tentang gelap yang kusukai. Tentang fisika yang kubenci. Tentang cinta yang kupercaya hanya fantasi dan tentang dia yang mengajariku supaya jangan takut mencintai kembali.

Huh ....

Aku mengembuskan napas dengan kasar. Entah untuk hitungan ke berapa malam ini. Malam yang semakin larut dan berubah semakin mencengkeram aku yang terduduk di atas kasur dengan pikiran yang rumit dan perasaan yang kian dipertanyakan. Beberapa kali aku mencoba mengais logika. Berapa lama aku menimbang-nimbang jika yang kurasakan saat ini adalah hal yang keliru yang seharusnya tak ada.

Namun, semuanya gagal ketika hatiku berbisik 'aku merindukannya'.

Tentang caranya memperlakukanku, tentang ucapannya yang selalu menjadi semangat serta motivasi, tentang tawanya yang membuatku candu dan segalanya tentang dirinya.

Oh ayolah, aku tidak seharusnya seperti ini. Aku selalu berusaha menepis rasa ini, tetapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Huh ... sekali lagi aku merindukannya.

Aku berdiri dari dudukku, berjalan menghampiri jendela yang terbuka karena angin kencang. Kuurungkan niatku untuk menutupnya dan yang kulakukan adalah berdiri dan merenung lagi dan lagi. Sesak di dada tak mampu kutahan. Air mata pun tak bisa kubendung. Hujan yang datang tiba-tiba seakan mengerti apa yang sedang kurasakan. Kerasnya angin yang membersamainya seolah memeluk  dan menyapu derasnya air mataku. Kunikmati setiap tetesannya berharap semua rinduku mengalir bersama air lalu hilang bersama dengan derasnya  hujan yang entah kapan akan berhenti.

Tok tok tok!

Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Suara itu membuatku tersadar akan lamunanku. Aku pun bergegas menutup jendela dan menghapus sisa air mata.

Kemudian, terdengar suara dari arah pintu. "Ra, belum tidur?" celetuknya sambil membuka pintu kamar yang lupa kukunci.

"Eh, be-belum," ujarku gelagapan sambil duduk di tempat tidur. Ceroboh sekali aku ini, lagi nangis malah lupa mengunci kamar. Kalau ketahuan nangis 'kan nanti diwawancarai. Huh!

"Tadi aku liat jendela kamar kamu kebuka, kirain lupa nutup makanya aku ke sini mau nutupin. Tumben banget jam segini belum tidur, biasanya habis isya juga langsung tidur," celotehnya sambil berjalan menuju meja belajarku.

Belum sempat aku menjawab, dia berucap lagi. "Eh, Ra, buku yang minggu lalu aku pinjam kamu ambil ya?" tanyanya kepadaku.

Aku mengernyitkan kening heran. Hah? Yang mana? Kamu gada bilang mau minjam buku," timpalku sambil mengambil bukuku yang ingin dibukanya.

Kemudian aku mendengkus kasar lalu menatapnya dengan selidik. Dia gelagapan serba salah. "Kamu ngambil bukuku gak bilang-bilang, ya?" sentakku sambil menunjuknya.

"Eh, anu minjam bukan ngambil," imbuhnya dengan pelan.

"Minjam apanya gak bilang-bilang. Pantesan aku nyariin gak ada, itu buku bersejarah tau gak. Mana bukunya? Jangan bilang kalo bukunya hilang," selorohku dengan frustrasi.

"Aku gak tau di mana bukunya, makanya aku nanya ke kamu, kirain kamu yang ngambil, kalo--"

"Nah 'kan hilang bukunya. Aku mana ada ngambil bukunya. Kamu minjam aja aku gak tau," potongku pada ucapannya.

"Gak mau tau pokoknya bukunya harus ketemu. Gak mau ganti yang baru, maunya yang itu! Kalo gak ketemu, album kamu aku bakar!" sambungku kesal.

Aaaaa capek banget! Itu buku dari si ehem. Pas waktu itu nyari yang jual buku itu susah banget, kalau sekarang mah gampang. Banyak sejarah dan perjuangannya juga buat dapetin buku itu. Banyak tulisan-tulisan juga yang kita tulis sama-sama. Huh! Mau nangis lagi lah rasanya.

"Heh ngadi-ngadi kamu, ya! Albumku harganya seperempat dari rumah ini. Bukumu paling juga gak sampai lima puluh ribu. Mau ngebakar albumku? Kubilang Bunda mampus dimarahin," kilahnya membela diri.

"Ganti yang baru gada bedanya juga, masih sama-sama buku, isinya juga sama, gak usah pilih-pilih. Besok kuganti," sambungnya lagi sambil berdiri ingin meninggalkan kamarku.

"Itu buku banyak kenangannya tau gak, yang gak punya kenangan mah gak akan paham," sindirku sambil menggerutu.

"Dih, kenangan suram gitu kok disimpan," sahutnya sambil keluar dan menghilang dari kamarku.

Aku pun membelalakkan mataku. Hah? Apa katanya? Kenangan suram?

"Hidupmu yang suram!" teriakku sambil membanting pintu.

"Tidur, Ogeb, dah tengah malam! "balas teriaknya dari kamar sebelah.

Aku melihat jam yang ada di dinding sudah menunjukan pukul 01.20. Aku menghela napas kasar. "Malam begini teriak-teriak, untung saja hujan deras, jadi gak kedengeran ke tetangga," gumamku pada diri sendiri.

Oh iya, dia adalah kakak perempuanku. Jangan bertanya kenapa aku tidak memanggilnya dengan sebutan kakak, karena dia tidak pantas dipanggil kakak. Eh, tidak-tidak aku bercanda. Dia kakak yang baik. Kami tinggal berdua di sini karena bunda dan ayah di luar kota sedang sibuk bekerja. Aku tidak memanggilnya kakak karena kami hanya beda 1 tahun. Kami hampir seumuran, 'kan?

Ya begitulah, tiada hari tanpa kami bertengkar. Aku akan selalu menjadi pemarah ketika berhadapan dengannya dan aku juga akan selalu menangis ketika sedang sendiri. Aku selalu menyembunyikan semuanya darinya, aku tidak ingin dia tahu tentang aku yang rapuh. Dia kakak yang perhatian, dia juga cerewet dan pelupa. Dia selalu lupa dengan barang yang dipinjamnya tanpa meminta ijin. Dia sangat ceroboh, tetapi dia sayang aku, aku juga sayang dia.

Kemudian aku mematikan lampu kamarku lalu berjalan menuju tempat tidur dan berbaring di atasnya sambil menutup mataku.

Iya benar, aku tidak langsung tidur. Aku hanya menutup mataku. Mataku tertutup, tetapi pikiranku sangat berisik.

Satu kata terlintas dalam benakku, 'terserah'.

Aku kembali bertumpu pada kata pasrah. Kataku sudahlah! Tidak ada gunanya berkeluh kesah.

Harap-harap kembali kulangitkan tanpa kenal lelah, meski akhirnya realita menjawabnya dengan banyak candaan.

Terima kasih untuk hari-hari kemarin.
Terima kasih untuk tawa kemarin.
Terima kasih untuk cinta kemarin.
Terima kasih juga untuk luka kemarin.

Tenanglah! Biarkan semuanya berlalu tanpa harus disesali ataupun dirindukan.

Setelah berperang dengan pikiranku sendiri, aku pun terlelap dan terbawa ke alam mimpi.

-END-

Penulis  : Nur Hikmah
Jumkat : 995

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang