Dunia Lain

90 2 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama, tempat, latar, dan lain-lain.

Selamat membaca dan selamat menikmati. Semoga suka. Terima kasih.


* * *

Bianca Theala Adrovia. Semua orang selalu memanggilku dengan panggilan Bia. Aku sedikit pun tak masalah jika mereka memanggilku dengan panggilan seperti itu. Namun, ada saja orang menyebalkan yang selalu memanggilku Thea. Memang panggilan yang indah, tetapi sedikit membuatku kesal saat semua orang menertawai nama itu, hanya karena nama itu mirip dengan salah satu tokoh di sinetron Ganteng-Ganteng Seringgalau.

Suara pedang yang jatuh, menggema ke seluruh ruangan. Membuat pelatihku, juga para penonton diam serentak, saat aku berhasil melempar pedang lawanku yang bernama Guanlin Pramudya. Aku bahkan berani menghunuskan pedang milikku pada wajahnya agar dia bisa mengakui bahwa dirinya kalah dariku.

"Badan gede, tapi gak mampu ngalahin gue. Ayo mengalahlah, Guan! Dan berhenti panggil gue dengan sebutan Thea! Itu bikin gue muak!" ucapku dengan nada angkuh, tetapi Guanlin malah tersenyum menyebalkan. Dengan santainya, Guan malah memegang ujung pedangku hingga membuat mataku melotot saat tangannya berdarah.

"Gue mau ngalah kalau lo mau jadi pacar gue."

"SIALAN!" Aku cepat menghampirinya, lantas menyingkirkan tangannya dari pedangku. Lalu, aku melempar pedangku ke penjuru ruangan, sampai terdengar bunyi nyaring yang begitu melengking.

"Nama gue bukan Sia ataupun Alana. Gue Guanlin Pramudya. Pria terkuat yang gak bisa dikalahin sama siapa pun."

Hih, ngaca dan sadar woy! Padahal baru saja aku mengalahkannya. Rasanya aku ingin goyang dumang saja, daripada harus melawan pria yang tak mau mengaku kalah.

***

Pukul dua belas malam, aku baru saja pulang dari Black Sword (tempat latihan bermain pedang). Rasanya sangat melelahkan. Aku naik ke lantai satu tanpa mempedulikan amukan Ayah karena aku pulang terlambat. Aku terkejut bukan main, saat melihat begitu banyak kunang-kunang yang masuk ke dalam kamarku.

"Wow, it's amazing!" teriakku kagum seraya melihat cahaya kunang-kunang yang berkedip. Ada juga yang hinggap di rambutku. Aku langsung saja tertidur tanpa memedulikan kunang-kunang itu. Tanpa kuketahui, kunang-kunang itu berkumpul dan berbentuk menjadi seorang wanita.

"Masuklah ke duniaku, dan selamatkan Pangeran Lazuardi," bisiknya. Lalu, dia mengusap leherku, yang membuatku kesusahan bernapas.

***

Aku membuka mata dan sangat terkejut saat menyadari bahwa aku bukan di tempat tidurku saat ini, melainkan di dalam peti berkaca yang akan ditutup.

"Hah! Awh sial! Sakit banget!" gerutuku saat kepalaku terbentur pada kaca peti.

"NYONYA THERESA HIDUP KEMBALI!" seru salah satu dari mereka, yang bertelinga panjang. Aku bahkan ingin pulang saat mereka mulai mendekatiku. Akan tetapi, langsung urung saat pasukan berkuda datang dan menyingkirkan tubuh mereka.

"Woah!" Aku bahkan terus saja memandang kagum pada sosok pria berambut merah. Wajahnya tidak seperti nyata. Dia adalah Pangeran Fenomena Lazuardi, pangeran dari Kerajaan Somervile yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Berbeda dengan dirinya yang membenci diriku, karena sudah tahu, aku bukanlah Putri Theresa, melainkan Bianca yang hanya masuk ke dalam tubuh Theresa untuk menyelamatkan Fenomena.

"FEN, SARANGHAE!"

"Berhenti berteriak menggunakan bahasa asingmu itu bodoh!" Aku tak mengindahkan protesannya itu, malah aku tambah iseng untuk menjahilinya.

"Fen, aku punya pantun untukmu." Fen akhirnya berhenti dan menatapku aneh.

"Pantun?"

"Iya, coba kau dengarkan dulu saja!" titahku. Lalu, Fen menuruti apa yang aku mau. Jujur saja, aku ingin tertawa saat dia benar-benar memasang wajah seserius itu.

"Ikan hiu makan tomat---"

"Heh, mana bisa! Ikan hiu tidak akan kenyang jika hanya memakan tomat!"

"Ck, kenapa kau harus protes, Fen? Ini hanya pantun. Lagian, dengarkan saja dulu. Aku belum selesai, tapi kau sudah memotong."

"Oh, ya sudah, lanjutkan," sahut Fen seraya memasang muka kesal. Namun, aku yakin dia pasti akan tersipu malu saat mendengar jurus pantun gombal yang aku buat.

"Ikan hiu makan tomat, kenapa kamu ganteng amat?"

Seketika, Fen langsung berteriak marah. Akan tetapi, aku yakin dia bukan marah, melainkan malu. Lihat saja telinganya, memerah seperti tomat.

Percakapan itu terus saja terputar di memoriku. Itu terasa seperti nyata. Bahkan, saat aku merasakan betapa sakitnya sebuah pedang yang menusuk menembus perutku, demi menjaga Fen.

Hingga pandanganku gelap dan aku kembali sadar di brankar rumah sakit. Katanya, aku mengalami kecelakaan sewaktu pulang dari tempat latihan dan mengalami koma selama lima bulan.

Namun, kenapa percakapanku, juga sentuhan tangan Fen, semuanya terasa sangat nyata? Aku bahkan berkali-kali menangis dan berteriak memanggil nama Fenomena.

Sangat menyakitkan.

End.

Penulis : LaLa (Akhwat'La)
Jumkat : 707

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang