Tenggelam Sebelum Sampai

61 5 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama, tempat, latar, dan lain-lain.

Selamat membaca dan selamat menikmati. Semoga suka. Terima kasih.

* * *

"Alana, gue cinta sama lo! Lo mau, 'kan jadi pacar gue?"

"I--iya, gue mau jadi pacar lo." Nayara tersenyum sakit seiring dengan dadanya yang terasa sesak. Sekarang ia harus sadar diri, bahwa bukan dirinya yang dicintai oleh Zidan, melainkan sepupunya sendiri--Alana.

Tiga belas tahun ia menaruh perasaan cinta terhadap Zidan, sahabat yang senantiasa menemani hari-harinya sampai saat ini.

Zidan langsung memeluk tubuh mungil Nayara, pemuda itu tampak senang karena bisa mengeluarkan isi hatinya lewat Nayara. Sekarang tujuannya adalah menemui Alana--gadis yang telah berhasil menaklukkan hatinya itu.

"Thanks, Nai. Lo emang sahabat terbaik gue."

Nayara hanya mengangguk sesaat setelah pelukan dari Zidan terlepas. "Gue pergi dulu, Alana pasti udah nunggu gue," lanjut Zidan sebelum melenggang pergi meninggalkan Nayara yang kini menatapnya sayu.

Ada perasaan tak rela di hati Nayara. Apakah ia harus menyerah pada cintanya sekarang juga? Apakah ia harus berhenti tepat pada hari ini?

Sesak, itulah yang ia rasakan sekarang. Air mata yang ia coba tahan sejak tadi, sekarang tak henti membasahi pipi. "Aku menyerah, Zidan." Nayara menghapus air matanya secara paksa dan pergi dari sana.

Di tempat lain, Zidan dengan semangat pergi ke tempat di mana dirinya dan Alana sepakati sebelumnya.

Dengan senyuman yang mengembang, saat ia membayangkan ekspresi Alana setelah ia mengungkapkan perasaan, laki-laki itu sangat yakin, bahwa cintanya tak hanya sepihak, Alana pasti menerimanya.

'Seoptimis itu.'

***

Alana hanya bungkam. Gadis dengan balutan dress maroon itu baru saja menerima ungkapan hati dari seseorang yang selama ini menemani hari-harinya bersama dengan Nayara--sepupunya.

"Gue enggak bisa terima, Dan. Maaf." Alana tersenyum miris. Sejujurnya gadis itu sangat mencintai Zidan. Setiap luka yang diciptakan keluarganya untuknya, Zidan selalu mengobatinya dengan tawa.

Namun, ia harus kembali disadarkan dengan Nayara, sepupunya itu juga sangat mencintai Zidan melebihi cintanya yang hanya sebatas angan. Ia tak boleh egois, Nayara lebih berhak memiliki Zidan dibandingkan dengan dirinya.

Zidan membeku, pemuda dengan cincin di dalam genggamannya itu tak menyangka dengan respon gadis di depannya.

"Kenapa?"

Alana menarik napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari pemuda di depannya itu. "Ada seseorang yang lebih layak buat nerima cinta lo."

"Nggak! Nggak ada yang lebih layak selain lo, Alana," protes Zidan.

"Gue akuin, gue juga cinta sama lo, tapi kalau gue nerima lo itu tandanya gue jahat," jelas Alana.

Zidan semakin bingung. Mengapa Alana menolak dirinya, sementara gadis itu juga mencintainya. Lantas siapa? Siapa yang lebih layak mendapatkan cintanya?

"Nayara." Alana mengetahui apa yang dipikirkan Zidan.

"Hah? Maksud lo?" tanya  Zidan.

"Nayara cinta sama lo, Zidan. Bahkan, cintanya mungkin lebih besar daripada cinta gue ke lo. Setiap hal yang menyangkut tentang lo selalu terekam jelas dalam ingatannya." Alana berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Dengan gue nerima lo sama aja gue nyakitin hati Nayara. Dan gue enggak mau itu terjadi," lanjut Alana menatap dalam manik pria di depannya itu.

"Gue harus pergi, gue harap cinta lo ke gue cuma sekedar kagum, Dan. Karena yang berhak atas itu cuma Nayara." Alana langsung beranjak pergi meninggalkan Zidan yang kini mematung karena ucapannya beberapa menit lalu.

***

Mentari perlahan bergulir ke Ufuk Barat. Orang-orang mulai pulang, tetapi Nayara masih enggan untuk beranjak. Netranya masih sibuk menatap pada ombak kecil yang memecah bibir pantai.

Nayara duduk dengan memeluk kedua lututnya. Sesekali ia memejamkan mata hanya untuk menikmati terpaan angin yang berkolaborasi dengan suara ombak.

"Zidan, rasaku terhadapmu banyak layaknya pasir di pantai ini dan kamu adalah ombaknya. Aku selalu menulis namamu di atas rasa itu, lalu ketika kamu datang padaku, seketika namamu terhapus di sana." Nayara kembali membuka matanya.

"Ternyata, aku hanyalah sebuah sampan yang berusaha menyeberang lautan. Sebelum sampai ke pelabuhan, aku sudah tenggelam." Nayara hanya tersenyum hambar.

Terlihat jelas di wajahnya, jika ia tengah menahan sesak yang sudah membeku di dalam dada sejak lama, ia sudah tak bisa mencairkan dengan air mata.

Nayara sadar, bahwa sampai saat ini pun dia masih mencintai Zidan yang sama sekali tidak menganggap dirinya ada. Entah sampai kapan rasanya akan tetap bertahan, sejujurnya dia sudah lelah dengan keadaan yang sama sekali tidak menuai kebahagiaan.

Kali ini Nayara benar-benar menyerah dan ia harap setelah  pergi untuk memberhentikan rasanya, Zidan akan menyadari, bahwa dialah yang paling menunggu dengan sabar, mencintai dengan ikhlas dan menerima dengan pasrah.

Nayara beranjak dari tempat duduknya. Beberapa kali menepuk-nepuk. Ia berjalan dengan gontai, seperti setengah sadar ia melihat ada seseorang yang berada juga di sana, Zidan.

Zidan melangkah, menghapus jarak di antara keduanya, tetapi Nayara malah berjalan mundur. Ia sudah berkata untuk menghapus rasanya, maka ia tak akan menarik ucapannya tadi.

Ya, dia Nayara, memilih tenggelam sebelum sampai pada pelabuhan.

TAMAT.

Palembang, 30 Januari 2022.

Penulis  : Basta
Jumkat : 757

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang