Kertas dan Pulpen

52 7 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur, dan lain sebagainya

Selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terima kasih.

***

Segenggam kertas kembali terlempar. Terhitung ratusan kepal memenuhi tong sampah di pojok ruangan. Namun, jari lentik itu tak kunjung menghentikan kegiatannya. Meski terkadang satu kesalahan selalu berhasil membuat dirinya frustrasi.

Sebagai penulis amatir yang perfeksionis, Wina—gadis yang baru beranjak remaja—seringkali meludahi tulisannya sendiri karena merasa tak puas. Dia menghabiskan hampir seluruh waktu di luar jam sekolah untuk menulis. Mempelajari ilmu kepenulisan dari hal-hal dasar seperti tanda baca, EYD, dll.

Meski begitu, pembacanya selalu tidak puas dengan tulisannya. Itu membuat Wina frustrasi.

"Radja!"

Seseorang melongok dari balik selimut.

"Apa?"

"Beliin aku pulpen sama buku!"

Bocah laki-laki berusia 10 tahun itu menghela napas panjang. Bosan mendengar perintah kakak perempuannya yang tidak pernah berubah. Kalau tidak beli buku pasti pulpen. Radja bisa saja menolak, tetapi Wina tidak akan membiarkannya tidur dengan tenang.

Maka mau tak mau Radja menerima uang dari Wina dan bergegas ke warung membeli pulpen serta buku. Sesampainya di sana, Radja menyebutkan benda-benda pesanan kakaknya yang segera diambilkan oleh pemilik warung.

"Kamu, kok, sering banget beli buku sama pulpen, to, Ja," ungkap bapak pemilik warung.

Radja mendengkus kesal. "Punya Kak Wina, Pak. Dia buang-buang kertas terus."

Pemilik warung itu mengerutkan kening. Lalu, mencatut sebuah majalah yang berada di atas meja. Sebelum memberikan buku dan pulpen yang dibeli Radja, dia menyodorkan majalah itu kepada Radja terlebih dahulu.

Kini kerutan memenuhi dahi Radja. Merasa heran dengan tingkah Bapak Pemilik Warung. "Ambil majalahnya! Kasih ke kakakmu, biar dia baca."

Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengangguk dan mengambil majalahnya dari tangan bapak pemilik warung. Setelah membayar, Radja bergegas pulang karena matanya sudah tidak dapat dikompromi. Ia harus tidur siang apa pun yang terjadi!

Hanya beberapa langkah, Radja sudah sampai di rumah. Dia berjalan menuju kamar Wina yang berada di sebelah kamarnya. Terlihat gadis itu tengah berkutat dengan pulpen dan buku.

"Kak, nih. Ada kembalian seribu, aku ambil, ya." Wina tampak tidak peduli dan lebih memilih mengejar kantong kresek yang berada di tangan adiknya. "Oh iya, kata Bapak Warung, Kakak harus baca ini!"

Radja memberikan majalah bersampul merah muda itu kepada Wina. Wina tidak menanggapi sehingga Radja yang sudah sangat mengantuk memutuskan untuk menyimpan majalah di atas meja dekat laptop yang terlipat rapi. Lantas melenggang begitu saja.

Di tempat duduknya, Wina tersenyum puas kala merasa tulisan yang ia buat sudah rapi tanpa kesalahan. Dia segera membuka laptop dan menyalakan aplikasi menulis online. Satu chapter yang baru saja diketik mulai disunting dan di-upload secara langsung.

Wina tak beranjak, berharap ada notifikasi masuk ke akunnya. Sampai beberapa saat kemudian, pemberitahuan itu benar-benar datang. Bukan tanda suka, melainkan sebuah komentar.

[Kenapa tokoh utamanya suka sama putri ketiga raja? Harusnya dia suka sama putri kedua!]

Alis Wina bertekuk. Jadi, pembacanya lebih senang tokoh utama dengan tokoh putri kedua daripada ketiga? Dia mulai memutar otak.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang