Bukan Salah Anakku

25 3 0
                                    


Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesaamaan nama, tempat, latar, dan lain-lain.

Selamat membaca dan selamat menikmati. Semoga suka. Terima kasih.

* * *


Suara tangis bayi terdengar. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kupeluk anakku yang menangis. Bayi menggemaskan itu baru berumur tujuh bulan. Sayang sekali saat tidur ia tak punya gendongan seperti bayi-bayi lain.

"Ssstt, diem ya, Sayang. Mama buatin susu dulu bentar." Aku beralih menempatkannya di atas kasur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkannya susu.

Mataku mulai berair saat membuka tempat susu anakku. Kosong. Sudah dari kemarin, aku sungguh lupa. Aku kembali mendekati anakku yang menangis. Tanganku membelai wajah mungil itu dengan rasa bersalah. Perlahan air mataku luruh.

"Maafin mama, Sayang ...," lirihku.

Lama aku terisak dengan anakku yang juga tak berhenti merengek. Kemudian aku menyeka kasar air mata sialan ini. Aku tak boleh lemah. Aku harus bertahan demi anakku. Ini sudah menjadi konsekuensi seorang ibu, apalagi ibu di usia yang masih terbilang muda sepertiku—delapan belas tahun.

"Kita ke rumah oma, ya. Kita pinjam uang sama oma buat beli susu." Bibirku mengukir senyum. Anakku yang menggemaskan perlahan mulai tenang setelah kuusap dadanya.

Selesai bersiap-siap, kami pergi ke rumah ibuku. Sebenarnya aku ragu. Maukah Ibu membantu putrinya yang sudah membuat malu keluarga ini? Walaupun begitu ragu, aku tetap harus menemui Ibu. Kini aku ada di depan rumahnya. Memantapkan diri beberapa menit, lalu kakiku melangkah semakin dekat dengan pintu.

Tok, tok, tok!

Tak lama pintu terbuka. Seorang gadis yang lebih muda dariku tersenyum ceria. "Kak Lidia!" serunya.

Dia Nadia, adikku.

"Ibu ada? Kakak mau ketemu."

"Ibu ada di dalam. Ayo, masuk, Kak!" jawabnya sekaligus mengajakku masuk.

Nadia menuntunku masuk ke dalam rumah. Rumah yang sudah setahun lebih aku tinggalkan. Bisa kulihat Ibu duduk di kursi tamu sembari meminum teh. Kemudian Nadia mengambil alih anakku. Mungkin mengerti situasiku saat ini yang ingin bicara dengan Ibu. Nadia menggendongnya dengan bahagia. Sesekali memuji wajah anakku yang begitu cantik. Mirip aku, katanya.

"Assalamu'alaikum, Ibu." Aku memberi salam pada Ibu yang duduk di kursi ruang tamu. Saat mau menyalimi tangannya, ia menghindar. Ibu masih marah padaku, bahkan setelah sekian lama.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ibu sarkas.

Aku menghela napas. Aku tahu ini memalukan. Setelah melakukan hal keji di masa lalu dengan mantan kekasihku, aku malah kembali ke sini setelah kabur dari rumah saat tahu aku hamil. Kupikir pria yang menjadi kekasihku kala itu mau bertanggung jawab, tetapi dia hanyalah seorang pria brengsek semata. Saat aku meminta pertanggungjawabannya, lelaki itu malah memberiku uang orangtuanya yang bahkan hanya cukup untuk hidup beberapa bulan, dan sekarang ia malah menghilang entah ke mana. Rasa maluku saat ini tak lebih penting dari anakku. Kami butuh uang untuk bertahan hidup. Aku butuh orang tuaku.

"Lidia minta maaf sebelumnya, tapi Lidia butuh uang, Bu. Lidia bisa pinjam ke Ibu? Lidia janji bakal ganti," ujarku sungguh-sungguh. Dalam hati berharap penuh ibu mau berbelas kasih padaku.

"Makanya, kalau belum bisa cari duit jangan aneh-aneh. Kenapa kamu tidak seperti Nadia yang masa depannya sudah pasti cerah? Dia berprestasi, sedangkan kamu? Malah jadi ibu di usia muda." Nada bicara Ibu dingin sekali. Ia tak menatapku saat berbicara. Air mataku hampir saja jatuh. Pertahanan bagai dihantam batu.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang