"Hanna, gimana kalau kita kerumah ibu, ibu harus tahu tentang semua yang telah terjadi"
"Kenapa gak menelpon saja? Dan suruh i-ibu kesini" kenapa ia jadi salah tingkah sendiri saat memanggil ibu Galang.
"Ibu gak punya handphone, dan...kayaknya gue terlalu lama cuti"
"Kalau gitu lo pergi aja sendiri! Gue masih pengen disini" Hanna merenggut sedih, ia masih ingin dirumah ini. Rumah ini adalah kenangan terakhir bersama orangtuanya.
"Jangan begitu..."
"Ya memangnya harus bagaimana?! Kalau mau pergi, pergi saja!"
"Hanna gue ngerti lo butuh waktu, tapi asal lo tau, sekarang lo tanggung jawab gue, maaf jika ini terdengar berlebihan dan sekarang ini gue yang memenuhi kebutuhan lo. Gue harus kerja Hanna. Gue harap lo bisa mengerti dengan keadaan gue sekarang" Hanna menatap Galang kesal. Ini masih terlalu pagi untuk membuatnya kesal.
"Lo sekarang udah mulai ngatur-ngatur hidup gue" sarkas Hanna. Galang terkesiap ia tak menyangka jika Hanna akan meresponnya seperti itu. Mengatur? Apakah ia salah berbicara barusan?
"Maaf sekali lagi. Jika itu berlebihan"
"Ya itu sangat berlebihan! Dan lo jangan sok peduli sama gue!" Hanna sebenarnya hanya terbawa emosi saja, moodnya memang sedang tidak baik dan ini masih pagi, di tambah lagi Galang berkata demikian, yang seolah membuat Hanna menjadi beban Galang selanjutnya.
"Iya. Maaf jika perkataan gue menyakiti perasaan lo" Sekarang Galang sudah tak nafsu untuk sarapan. Nasi dan telur dadarnya di tinggalkan begitu saja. Dan memasuki kamar.
Hanna yang melihat Galang seperti itu mengerutkan keningnya dalam. Mengapa jadi Galang yang pergi?! Seharusnya kan dirinya, kan ia yang sedang marah dan kesal. Dengan perasaan kesalnya ia menyuapkan sendok terakhirnya yang terlihat penuh pada mulutnya, dan mengunyahnya sampai tandas.
Ia jadi kesal sendiri, ini sudah siang tapi Galang masih saja mengacuhkannya. Seperti ia hanya hidup sendiri disini, Galang hanya terus memainkan hanphone dan tertidur di kasur hanya itu yang ia lakukan.
"Galang"
"Galang gue laper lagi..."
"Tolong masakin...."
"Di dapur gak ada mie, telur pun udah habis, gue gak bisa masak selain itu...." lelah karena Galang seperti tak mendengarkannya.
"Galang lo bolot ya?!" Menarik nafas dan mengeluarkannya kembali, Hanna melangkahkan kakinya kehadapan Galang yang sedang terbaring sambil memainkan handphonenya di kamar.
"Lo pura-pura budeg yah?" Hanna mencoba untuk tidak meninggikan suaranya.
"Hiks...Galang gue lapar...." mendengar isakan Hanna Galang mengalihkan atensinya pada Hanna.
"Kenapa malah nangis, kalau lapar seharusnya masak bukan malah menangis" cukup sudah ia tak tahan dengan sikap Galang seperti ini. Galang mengacuhkannya adalah hal yang buruk, walaupun ia belum terlalu mengenal Galang, tapi ia tau satu sikap Galang sekarang, jika Galang mengacuhkan seseorang, Galang akan sangat menyebalkan!
"Pliss" mohon Hanna, perutnya sudah sangat panas minta di isi. Air matanya ia usap kasar.
"Mm...mmm...ini juga karena dia ya d-dia pasti juga lapar" gugup Hanna, sambil menunjuk calon bayinya. Galang mengikuti arah telunjuk Hanna.
Apa iya? Jika seperti itu ia tega sekali jika sampai tidak memasakan makanan untuk Hanna.
Tanpa bicara Galang melewati Hanna begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLOfuture
RomanceJangankan untuk mengalihkan dunia mengalihkan dirimu saja ku tak bisa. Sinarnya selalu padam saat kau tak melihatku dan teriknya membuatku ingin menyerah. Tetapi saat musim hujan datang apa kau sudi berteduh di hatiku. Oh .... cinta bahkan sebelumny...