#64

68 12 0
                                    

"Hanna...bibi mau bicara" menyudahkan sesi pengobatannya lalu bibi Rama menjauh untuk menyimpan kotak obat yang ia pegang.

Hanna terlihat sudah kembali memakai baju lengkap. Merasakan nyeri ketika tangannya di julurkan untuk memakai bajunya. Darel terlihat sedang tidur siang. Mengusap peluh Darel lembut. Terbengong dengan tatapan kosong ke arah sang putra. Menatap jauh bayangannya. Tidak sadar Hanna sampai mengkerutkan keningnya walaupun tidak dalam.

"Apa kabar?" Cicit Hanna. Tersenyum kecut dan bibirnya sedikit bergetar. Bahkan Darel mempunyai lesung pipi yang sama. Bagaimana saat setiap Darel tertawa Hanna tidak mengingatnya? Jika di ingat dalam tiga tahun lalu Hanna belum bisa menerima Galang atas pernikahannya sehingga dengan ceroboh ia mengikuti saran Yuanwar waktu itu. Tetapi jika bisa mengulang, Hanna lebih memilih mununggu cinta itu sampai datang di hatinya untuk menerima Galang. Saat ini juga Hanna menyesal karena tidak mengingat pesan ibunya saat akan menikahkannya dengan Galang.

Mengusap wajahnya pelan. Mencoba mengenyahkan pikiran yang menurut Hanna hanya sebuah angan-angan semata.

Menatap putranya lebih dekat dan mencium pipi Darel pelan.

Hari-hari Darel yang di habiskan hanya untuk membantu bibi menyiram tanaman memperhatikannya saat bibi Rama bekerja. Darel tidak aktif bermain seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Darel hanya bisa mengangguk dan berkata "ya" saat seseorang memerintahnya. Rasanya Darel tidak mengenal orang lain selain isi di dalam mansion ini.

Senyum Darel hanya bisa di lihat oleh sang Bunda dan bibi Rama yang memang baik padanya. Jika selain bunda dan bibi Rama Darel menjadi anak yang sangat pasif dan sangat pendiam.

Hanna mengangkat wajahnya mengedarkan pandangannya ke arah jendela yang terbuka. Hembusan angin terasa menyejukan. Matanya terasa berat akibat menangis. Anak rambutnya tersapu-sapu terbawa angin merasakan sejenak kenikmatan ini. Matanya yang sayu mampu menjelaskan semuanya.

"Nak...bibi mau bicara" bibi Rama mulai mendekat di sisi ranjang yang sama.

"Iya...ada apa?" Bahkan sekarang suara Hanna melemah.

"Bibi ada sedikit uang..." menatap mata Hanna dalam. Hanna sudah di anggap sebagai anak sendiri olehnya. Rama hanya seseorang yang sebatang kara. Dirinya di boyong oleh Yuanwar kesini sepuluh tahun lalu karena ia sudah bekerja dengan tuannya itu selama lima belas tahun sebelum menikah dengan istrinya yang sekarang. Masih bersyukur tuan Yuanwar masih mempercayainya.

"Apa maksud bibi..." sesekali Hanna menahan sakit di punggungnya. Jangan bilang bibi Rama menyuruhnya pergi dari sini seperti tahun lalu.

"Kamu bisa pergi dari sini. Bibi ada kenalan di luar kota mungkin kamu bisa kesana" menatap bibi Rama terkejut. Sebelumnya bibi Rama tidak menceritakan bahwa ia mempunyai kenalan di luar kota.

"Mungkin itu simpanan bibi...aku tidak mau" lagi-lagi seperti itu.

"Sudahlah...bibi kan masih bekerja disini..." yakinkan Hanna.

"Kamu ingin pergi kan dari sini? Maka dari itu bibi bantu" lalu bibi Rama mengalihkan pandangannya pada Darel yang mulai terusik.

"Aku tidak enak bi....bagaimana dengan bibi?! Pasti bibi lebih membutuhkan uang itu" sungguh Hanna sungkan menerimanya.

"Tidak. Kamu yang lebih membutuhkan...kalau kamu setuju nanti malam kita melakukannya" Rama sangat berharap Hanna menyetujuinya.

"Mm...aku bingung bi"

"Tidak usah bingung. Nanti kamu juga harus membeli ponsel supaya kita terus bisa terhubung" Hanna bingung mau menjawab apa ia tidak menyangka bibi Rama akan melakukan ini. Mengingat ponselnya. Ponsel Hanna sudah lama mati akibat di lempar oleh Jenifer karena hanya Hanna menjatuhkan dua piring dan pada saat itu Jenifer melihat langsung bahwa Hanna sedang memainkan ponselnya. Saat itu Hanna masih sekitar setengah tahun di mansion ini. Dengan tiba-tiba Jenifer melempar ponselnya asal. Akibatnya ponselnya terbelah dua dan mati.

HELLOfutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang