Kematian mengakhiri hidup, bukan harapan. Tetapi bagaimana jika harapan kamu ada pada orang yang sudah berakhir hidupnya?
A.8/03/22___HAPPY READING___
.
.
.
___________Langit yang cerah, bunga yang bermekaran, dihari yang indah seperti ini kenapa harus sebuah kematian yang terjadi. Harusnya Aldi tidak meninggalkannya secepat ini, harusnya pria itu masih hidup dan memukul tubuh lemah Ania berkali-kali.
Lagi-lagi Ania hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri atas kematian papahnya.
Alfin yang selalu berada disebelah gadisnya, menyenderkan kepala Ania pada dada bidang cowok itu. Dia tidak bisa melihat gadisnya yang menangis.
Acara pemakaman telah usai beberapa menit yang lalu, hanya tersisa beberapa orang saja yang masih berada di gundukan tanah basah dan juga temannya yang selalu menemani dari awal pemakaman, padahal hari ini adalah hari Senin, tetapi mereka semua lebih memilih menemani Ania dari pada pergi ke sekolah.
Tubuh Ania merosot ke bawah, dia bersimpuh di depan makan Aldi dengan derai air mata luruh tanpa diminta.
Kehilangan Aldi sama sekali tidak pernah terpikir dibenaknya secepat ini. Sekarang hanya penyesalan yang Ania rasa, dia menyesal telah membenci pria itu, bahkan Ania sangat menyesal saat dirinya berani membentaknya.
"Papah beneran ninggalin Ania?"
"Kenapa secepat ini pah?"
"Papah nggak mau mukul Ania lagi?"
"Papah nggak mau bentak Ania lagi?"
"Ania mau dipukul papah sekarang__"
"Ania mau dibentak papah sekarang__"
Ania mencengkeram erat nisan Aldi. Tidak ada tangisan yang terdengar, hanya isakan pelan yang mampu keluar dari mulut Ania, gadis itu menangis dalam diam, seolah menyembunyikan kesedihannya pada semesta.
"Papah udah tenang, jangan terlalu larut. Kamu harus ikhlas." ucap Alfin menyentuh punggung Ania yang bersimpuh ditanah dengan lembut.
Adhit terduduk, menyamakan posisinya dengan adiknya. Dia tau Ania menangis. Perlahan, Adhit menyentuh punggung Ania dengan pelan. "Udah dek, papah udah tenang. Jangan nangis terus, kamu inget ucapan papah?" tanya cowok itu menggantungkan ucapannya. "Papah benci lo nangis."
"Lo nggak boleh nangis di depan papah. Papah benci itu."
Ania menghapus air matanya kasar. Dia ingat, dia ingat Aldi pernah bahkan sering mengatakan hal itu. Kalau saja Aldi melihat Ania menangis, pasti pria itu akan segan-segan memukulnya. Tetapi sekarang? Ania menangis di depannya langsung. Pria itu tidak memukulnya lagi, pria itu tidak menendangnya lagi. Ania ingin merasakan seperti dulu, Ania ingin merasakan sentuhan tangan Aldi. Jika Ania boleh meminta, dia rela hidup dengan kekerasan dari pada dia hidup tanpa Aldi.
Seberat itu kehilangan seseorang yang sudah menjadi jantung hidupnya.
"Papah benci Ania nangis?" tanyanya yang terdengar sangat ambigu ditelinga.
"Kalau papah benci, Ania nggak akan nangis lagi di depan papah."
"Ania akan pergi di sini kalau papah mau."
Bella sangat terisak mendengar ucapan pilu sahabatnya, dia tak mampu melihatnya lagi. Gadis itu lebih memilih memeluk Hilda yang berada disebelahnya dan berlindung dibalik tubuh kekar Abi.
Loka menepuk-nepuk pundak Alfin beberapa kali, menguatkan cowok itu yang merasa iba melihat gadisnya. "Lo harus kuat buat dia, jangan nangis. Banci tau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANBELIN
Teen Fiction[Follow akun penulis dulu sebelum baca] Ania Octavian, gadis yang kerap disapa Ania itu identik dengan senyum yang manis. Tetapi siapa sangka, senyum itu ia tunjukkan hanya untuk tipuan belaka. Kehidupan Ania sangat berbanding terbalik dengan senyum...