68.

456 69 29
                                    

___HAPPY READING ___
.
.
.
_____________

Malam berlalu terganti dengan pagi yang cerah disambut dengan kicauan burung di atas sana. Jam menunjukan pukul 06:15 yang menandakan bel masuknya sekolah masih berbunyi 45 menit lagi.

Ania yang saat ini berjalan di koridor, terus menunduk mengabaikan tatapan dari beberapa para murid yang mungkin membicarakan keburukan tentang dirinya yang tiba-tiba berjalan tanpa menggunakan tongkat kruk.

Ania tidak perduli, tetapi ia risih.

"Perasaan baru kemarin Salsa ngungkap kondisi dia yang pura-pura lumpuh. Tapi kok bisa langsung terbukti hari ini?"

"Rahasianya udah terbongkar, makanya buka topeng."

"Aishhh, keterlaluan banget si kalau benar ngaku-ngaku lumpuh cuma buat narik simpati murid-murid."

"Tapi kayaknya ucapan Salsa nggak pernah bohong deh. Lihat aja kondisi kaki dia yang hari ini udah mulai jalan normal."

"Hadehh, jangan-jangan kasus yang sekarang aja memang benar, kalau dia yang jual diri ke Gio?"

"Sembilan puluh persen, bisa jadi bener sih."

Ania menghela nafasnya kasar. Dia menegakkan kepalanya menatap tiga murid perempuan yang mengatainya langsung di depannya dengan begitu santai seolah tidak ada dirinya. Ania tersenyum menanggapi ucapan mereka, yang malah dibalas decihan benci oleh ketiganya.

Saat akan kembali berjalan menuju kelasnya, lagi dan lagi ucapan itu kembali terdengar.

"Gak usah bikin drama lagi deh. Udah mau lulus aja ribet, masih nyusun skripsi buat drama selanjutnya."

"Udahlah ngaku aja si yang sebenarnya, toh semua murid di sini juga udah tau sifat busuk lo yang sebenarnya." ujar salah satu dari mereka, menatap Ania dari atas sampai bawah dengan tangan yang melipat didadanya.

"Gak bisa munafik kalau gue juga ingin segera keluar dari zona penjara yang menghukum korban karena pengakuan palsu dari pelaku." jawab Ania tajam sambil menatap mereka bertiga secara bergantian, sebelum ia pergi, berlalu meninggalkan mereka yang semakin menatapnya benci.

"MUNAFIK LO. GUE JUGA INGIN LO SEGERA KELUAR DARI SEKOLAH!" teriak mereka yang tidak lagi Ania gubris.

Satu persatu murid yang mendengar jeritan itu pun dengan secara terang-terangan menatap Ania rendah dan saling berbisik membicarakan kondisi Ania yang tampak baik-baik saja daripada kemarin.

Ania mencoba untuk tidak perduli dan berjalan santai seolah tidak ada yang ia dengar. Walau sebenarnya, kakinya masih agak sedikit ngilu, tetapi Ania bisa menahan rasa sakit itu, hingga ia sampai di depan kelas.

Sesampainya di dalam kelas, pandangan Ania langsung disuguhi dengan kehadiran Alfin dan Bella yang terlihat kian hari semakin dekat. Ania tidak ingin memperdulikan itu, tetapi mendengar suara gelak tawa dari mereka membuat bayangan-bayangan buruk tentang mereka terlintas dipikiran Ania.

Bukannya tidak ingin berjuang, Ania hanya ingin berdamai dengan hidupnya tanpa melibatkan ketergantungan kepada siapapun. Walau saat ini, mungkin ketergantungan hidupnya beralih ke Abi, tetapi sebisa mungkin Ania akan menanggungnya sendiri.

Dan untuk perasannya terhadap Alfin, walau tidak bisa melupakannya, Ania akan mencoba pura-pura yang pastinya akan lebih menyakitkan dari sebelumnya.

Ania memijat pangkal hidungnya dengan sangat keras saat mengingat keputusan terakhir yang menentukan status dirinya di hari esok.

ANBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang