60.

600 54 11
                                    

___HAPPY READING___
.
.
.
____________

Tangan Loka menggapai beberapa makanan sereal sehat, memasukannya pada ranjang yang sudah sangat penuh dengan beberapa buah-buahan dan sayur-sayuran segar.

"Lo mau apa lagi?" tanya Loka ketus pada Salsa yang sendari tadi diam, mengikutinya dari belakang.

Salsa menggeleng. "Udah cukup, lo nggak perlu nyusahin diri buat menuhin kebutuhan bayi gu....."

"Gak usah banyak bacot! Lo pilih apa yang lo butuh. Gue tunggu di sini." titah Loka memotong ucapan Salsa begitu saja.

Salsa menghela nafasnya panjang, dia memberanikan diri untuk menatap balik manik itu. "Ka, jangan buat gue berharap sama si...."

"Gue sama sekali nggak niat beri harapan buat lo. Kalau lo ngerasa, lo sendiri yang salah karena terlalu berharap lebih sama gue."

Salsa menunduk, setelah kata-kata menyakitkan di rumah sakit dan sekarang, Loka mengulangi ucapan menyakitkan itu kembali di sini. Tanpa berucap apa-apa, Salsa langsung bergegas pergi meninggalkan Loka yang mematung menatap dirinya dengan tatapan berbeda.

Salsa menatap banyaknya jejeran susu hamil di depannya tanpa raut apapun. Jika Loka tidak perduli, untuk apa Salsa tetap mempertahankan dia? Bahkan ayah yang sebenarnya aja sama sekali tidak perduli.

Terus untuk apa Salsa repot-repot membeli susu hamil?

Bukannya itu hanya sia-sia?

Langkah Salsa berjalan meninggalkan jejeran susu itu dengan perasaan berkecamuk. Lantas dia langsung menghampiri Loka yang berdiri ditempat semula.

Mata Loka menatap tangan Salsa yang kosong.

"Gue nggak perlu apa-apa lagi."

Loka menghela nafasnya panjang. Tanpa berucap, dia langsung berjalan ke arah rak susu ibu hamil, memilih beberapa dari banyaknya jenis dan varian rasa dan memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah dirasa cukup, Loka langsung bergegas membayarnya dan keluar dari minimarket yang pastinya diikuti Salsa.

___ANBELIN___

Suasana di dalam ruangan cukup membuat perasaan Alfin tenang dengan melihat banyaknya awan cerah di atas langit sana.

Saat ini, Alfin tengah berdiri didekat jendela besar yang menampakkan kota Jakarta yang begitu padat pengendara.

Disisi lain, Ania yang masih duduk dikursi roda tanpa seseorang yang menjaganya, terus menatap gumpalan awan dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.

Dicuaca yang secerah ini, membuat segala rasa rindu Ania pada Alfin menyerang begitu saja. Sungguh, Ania benar-benar merindukan cowok itu. Dia rindu suara Alfin, bahkan dia juga rindu dengan perhatian darinya. Ania tau, kemarahan Alfin masih menguasainya sampai saat ini. Tapi apa boleh Ania meminta sikap perhatian Alfin saat ini juga?

Perasaan Ania rapuh tanpa dia, bahkan jika boleh jujur, memang rasa sesak keasingan Alfin tidak sebanding dengan kesakitan tuduhan kejadian itu. Tetapi jika sudah menyangkut perasaan, apa masih bisa digantikan dengan yang lain?

Ania tidak bisa tanpa Alfin. Dia sudah sepenuhnya bergantung hidup dengan cowok itu. Tetapi sekarang, apakah Ania harus tetap melanjutkan hidupnya tanpa perasaannya?

Ania sudah cukup rapuh dengan kehidupan keluarganya, dan sekarang ditambah dengan kehidupan persoalan perasaan. Sebenarnya, kesalahan besar apa yang sudah Ania perbuat dulu, sampai masalah yang menimpa dirinya selalu serumit ini.

ANBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang