63.

487 60 2
                                    

___HAPPY READING ___
.
.
.
____________

Adhit dan Hilda berjalan di lorong rumah sakit dengan kedua tangan yang saling menaut erat. Setelah dua hari mencari tahu tentang keberadaan Ania, akhirnya mereka mendapatkan informasi lengkap mengenai Ania.

Ania ada di rumah sakit, dan itu yang paling membuat Adhit gelisah akan kesehatannya.

Waktu Adhit mendapat kabar dari orang pesuruhannya, tanpa berpikir panjang dan berlama-lama lagi, dia langsung bergegas menjemput Hilda yang saat itu berada di rumah, melaju dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit dimana Ania berada.

Dan benar, saat mereka menanyakan pada suster yang berjaga di depan rumah sakit, nama Ania terdapat di dalam buku deretan nama pasien rumah sakit ini.

Ania berada di ruang inap VIP nomer 125 dimana ruangan itu terletak dilantai tiga rumah sakit.

Adhit terus menggenggam tangan Hilda agar tidak tertinggal dan membelokkan kakinya ke arah kiri saat terdapat pertigaan di depannya. Mereka semakin mempercepat jalannya dan hanya memerlukan beberapa langkah kaki lagi untuk sampai di depan pintu ruangan Ania.

Tepat saat mereka sampai, kaki keduanya tertahan dengan seseorang yang baru saja keluar dari dalam ruangan Ania.

Adhit menegakkan kepalanya, menatap seseorang pemilik kaki tersebut.

Dan ternyata dia adalah Abi.

"Ada perlu apa kalian datang kemari?" tanya Abi tanpa adanya kedamaian, dengan tangan yang kembali menutup pintu ruangan Ania dengan rapat.

"Kamu tidak perlu mencampuri urusan kami." tekan Adhit dengan sorot kemarahan. "Minggir!" lanjutnya saat Abi tetap berada diambang pintu.

Abi melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Adhit dan Hilda secara bergantian. "Saya tidak akan memberi kalian peluang untuk bertemu dengan Ania semudah cara kalian membuang dia."

"Jaga ucapan kamu! Kami keluarga Ania dan kami berhak menemui dia!" jawab Adhit dengan kepalan kedua tangannya.

Abi menyeringai. "Keluarga? Bukannya kalian sudah membuang Ania dengan kata-kata sampah kalian?"

"Kalian bukan lagi keluarga Ania. Dan silahkan angkat kaki dari sini."

"Kami datang ke sini dengan niat baik. Dan jangan coba-coba kamu bangkitkan amarah saya dengan omongan sampah kamu!" ujar Adhit yang sepertinya sudah tidak bisa mengendalikan rasa emosinya lagi.

"Omongan saya yang mana yang sudah buat amarah kalian bangkit?" tanya Abi menaikkan sebelah alisnya, menatap Adhit dan Hilda dengan tatapan remeh.

"BOCAH BIADAB! SIAPA KAMU SAMPAI BERANI MELARANG SAYA MENEMUI ANIA?!" Raung Adhit keras yang sukses menggema diseluruh ruangan, terkecuali ruangan yang Ania singgah. Karena ruangan itu sendiri, ruangan yang kedap suara.

"Saya berhak melarang kalian menemui Ania karena saya yang mengambil Ania saat kalian membuangnya!"

"Tidak ada gunanya kalian menjenguk Ania, karena Ania sendiri sudah sangat benci dengan kalian!"

duwarrrrrrrrr

Jantung Adhit berdegup tak karuan bak tersambar petir disiang bolong. Adhit tidak menyangka dengan apa yang ia dengan saat ini.

"Jangan coba-coba bohongi saya! Ania, dia bukan seperti omongan kamu. Dia tidak mungkin membenci kakak kandungnya sendiri!" elak Adhit yang sudah berkaca-kaca.

Hilda tidak bersuara apa-apa, dia membeku, terdiam, terisak dan menunduk ditempat.

"Tidak mungkin kalau Ania masih sayang sama kakaknya yang seperti iblis."

ANBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang