75.

584 53 3
                                    

___HAPPY READING ___
.
.
.
____________

Tujuh hari, waktu yang mereka isi hari-harinya dengan ketegangan dan penuh penderitaan, telah usai. Di hari ini, hari Jum'at pagi adalah hari akhir yang paling mereka nantikan sepanjang sekolah.

Kelulusan sudah tampak di depan mata. Para siswa dan siswi SMA negeri Wira Bakti, diwajibkan untuk berkumpul di tengah lapangan sebagai agenda terakhir sebelum pelepasan alumni murid.

Cahaya matahari yang berada di atas kepala, tidak sedikit membuat mereka mengeluh perihal pembawa acara yang nampaknya masih betah untuk berkata-kata.

Amplop coklat berisi surat kelulusan sudah berada digenggaman para murid. Tetapi tidak diperbolehkan untuk dibuka terlebih dahulu. Mengingat pembukaan amplop yang akan dilakukan secara bersamaan di tengah lapangan.

Para guru dan seluruh warga sekolah yang bersangkutan juga ikut berkumpul di hadapan mereka semua. Jika mengingat tentang persoalan kemarin, Bu Beti dan pak Rian, benar-benar dikeluarkan oleh pemilik yayasan yang merupakan ayah dari Abi. Dan kepala sekolah yang baru juga sudah ditentukan dan saat ini tengah hadir membawa ucapan motivasi bagi mereka semua.

Abi mengusap keringat yang merembes di dahi mulusnya, dengan wajah yang tampak kelelahan. "Kelamaan njir, lumutan nih gue." Abi memprotes tidak suka, mendengar dan memaksa memperhatikan kepala sekolah yang berbicara di depan mereka semua.

Lantas Loka dan Ania yang berdiri di sebelahnya, melirik cowok itu kilas. "Gak usah protes. Ini hari terakhir dan gak bakal kayak gini lagi nantinya." sela Loka yang mendapat anggukan persetujuan dari Ania.

"Gak papa si Bi, tahan-tahan aja demi harga diri bokap lo." gurau Ania sambil mengangkat dagunya, seolah menunjuk pak Setya yang tampak gagah dan berwibawa, berdiri di depan sana.

Melihat pak Setya yang benar-benar gagah membuat Abi tersenyum lebar ke arahnya. "Buset, bapak gue nggak ingat umur kalau kek gini."

"Bagus lah. Jadi nggak ngebosenin kayak penampilan gembel anaknya."

Sontak Abi menatap Loka dengan lirikan tajam. "Jangan buat gue insecure sama bokap sendiri."

Mendengar sebuah tekanan yang Abi lontarkan membuat Ania dan Loka terkekeh kilas, tanpa berkata dan kembali melanjutkan memperhatikan kepala sekolah di depan.

Bella, yang berdiri di belakang mereka dengan Alfin di sampingnya, menyenggol pelan lengan Alfin yang membuat sang empu menoleh ke arahnya dengan alis yang terangkat seolah bertanya 'apa'.

"Lo nggak ada niatan buat kembali lagi sama mereka?" tanyanya yang tidak langsung mendapat respon dari Alfin.

Alfin berdeham, dia menggeleng. "Gue nggak tau, konfliknya udah cukup menyebar dan nggak bakal bisa ditutup cuma pakai kata maaf." jawab Alfin dengan pandangan yang lurus mengarah ke depan tanpa menatap balik manik Bella.

"Jadi lo mau kondisinya tetap seperti ini?"

Alfin kembali menggeleng. "Udah terlanjur. Penyesalan aja nggak cukup."

"Tapi seenggaknya lo berusaha buat kembali lagi sama mereka yang udah ngisi hari-hari lo selama di sini, Alfin."

Alfin terdiam, memutarkan pemikirannya yang dangkal akan kekhawatiran ia pada sebuah beban lama.

"Kalau gue bisa berteman baik lagi sama mereka, apa gue nggak bakal balik lagi sama dia?" Pertanyaan Alfin yang seperti ini selalu membuat Bella bungkam, tidak bisa menjawabnya. "Gue bakal terjebak lagi di labirin yang udah gue temui jalan keluarnya."

ANBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang