56. Persiapan Tempur

1.1K 311 46
                                    

Halo, terima kasih telah mengikuti cerita ini~ Semoga kalian bisa terus baca sampai tamat~

Jika sula, silakan Vote dan Komen ... Thank you!

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kini Avraam sudah kembali ke rumah sakit, perawat sedang melakukan pemeriksaan pada lukanya. Tentu saja hal itu ada permintaan Rania, walaupun dia sudah menolaknya, kakaknya itu tetap bersikeras. Perawat bernama Bilqis beberapa kali mengajukan pertanyaan mengenai lukanya, dan dia menjawab kalau lukanya baik-baik saja, karena memang itu yang dia rasakan.

"Enggak ada masalah sama lukanya, cukup istirahat aja."

"Tuh, kan, aku enggak kenapa-kenapa." Avraam menarik selimut dan memperbaiki posisi batal di belakang punggungnya, untuk mencari kenyamanan. "Kak Ran tenang aja."

Rania tidak mengatakan apa pun. Perawat tadi berpamitan setelah membereskan barang-barang miliknya. Avraam mengucapkan terima kasih, sebelum perawat itu keluar dari ruangannya.

"Kak, aku enggak kenapa-kenapa," ulangnya, karena tak kunjung mendapatkan respons dari Rania.

Mungkin kakaknya masih marah, jadi tidak menanggapi ucapannya. Atau mungkin juga, kakaknya sudah lelah, karena sepanjang jalan menuju kemari, telinganya tidak bisa berhenti mendengarkan ceramah dari sang kakak tersayang.

Avraam sedikit waspada saat Rania berjalan ke arahnya. Jika kesal atau marah, kakaknya itu memang terkadang sering menyerangmya secara fisik. Entah memukul, mencubit, menarik telinganya atau hal-hal seperti itulah. Dan seharusnya dia siap dengan konsekuensinya, karena dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Tetapi, tetap saja masih ada perasaan takut menyelimutinya.

"Kak Ran, semua bisa dibicarain baik-ba—" Ucapan Avraam terpotong saat Rania tiba-tiba memeluknya. ini benar-benar diluar dugaannya.

"Kamu tau enggak, Kakak itu khawatir banget. Pertama kali denger kamu kena tusuk, Kakak bener-bener panik ...." Ada jeda sesaat. "... Kakak takut kamu ninggalin Kakak sendirian. Aram, Ka-kakak mohon jangan bi-bikin khawatir terus."

Avraam bisa mendengar suara Rania bergetar, kakaknya pasti menangis. Laki-laki itu tertegun sejenak, lalu berkata, "maafin aku, Kak."

Dia tidak menyangka kalau Rania akan menanggapi kejadian yang menimpanya seserius ini. Dengan perlahan, lengannya mengusap punggung kakak perempuan satu-satunya yang dia miliki. Sepertinya akhir-akhir ini kakaknya terlalu sensitif. Tetapi, bisa saja selama ini kakaknya selalu menahan rasa khawatirnya, dan sekarang dia sudah tidak sanggup menahannya lagi.

"Maafin aku, Kak. Aku janji, enggak akan bikin Kakak khawatir lagi." Avraam mencoba menenangkan Rania, yang kini mulai meremas baju rumah sakit yang dia kenakan. Dia menjadi merasa bersalah.

Avraam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang