61. Terungkap

1.2K 333 16
                                    

Halo, terima kasih sudah mengikuti cerita ini~

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Laki-laki itu duduk di atas kasur yang berada di ruang UKS. Ibu Suci mengantarkan mereka kemari, dan sekarang beliau sudah pamit pergi dengan membawa Kak Resti ikut bersamanya. Kini hanya tersisa dirinya dan kakak perempuannya. Karena, kakaknya itu memang memintanya untuk berbicara berdua.

"Aram," panggil sang kakak. Sedangkan Avraam hanya membalasnya dengan senyuman tipis. "Kenapa kamu enggak bilang apa-apa? Kalau Ibu Suci enggak kasih tau Kakak, kamu bakalan sembunyiin masalah ini sampe kamu berangkat, kan?" Rania tidak bisa mengontrol emosinya. Dia merasa kesal, marah, sedih dan takut.

"Maaf, Kak. Aku enggak tau gimana jelasin masalah ini," ucap Avraam, laki-laki itu mengarahkan tatapannya pada jemari yang sedang dia mainkan.

"Kenapa kamu setuju ikut ke Singapura?" Setetes air mata mengalir melewati pipinya. "Kamu mau ninggalin Kakak gitu aja?" Dengan kasar, Rania mengapus jejak air mata itu dengan punggung tangannya.

"Kak, aku enggak punya pilihan lagi." Kedua tangannya mengepal. "Maaf." Laki-laki itu semakin menundukkan kepalanya.

"Kamu harusnya diskusi dulu sama Kakak. Kenapa kamu langsung ngambil keputusan kayak gini? Pokoknya, Kakak enggak akan biarin kamu pergi!"

Laki-laki itu menarik napas dalam selama beberapa detik, lalu membuangnya. Kini, dia mengarahkan netra hitamnya ke arah Rania "Kak, kita enggak bisa ngelawan dia. Jadi, please ... Kak Ran, jangan memperumit keadaan."

Inilah alasan kenapa dia tidak memberitahu kakaknya dari awal. Karena dia yakin kakaknya akan berusaha keras untuk membuatnya tetap tinggal.

"Kamu bilang, Kakak memperumit keadaan?" Rania menatap adiknya dengan tatapan tidak percaya. Kenapa adiknya bisa berbicara seperti itu padanya. "Oke, maaf kalau aku kayak gitu." Rania mengusap jejak air mata yang masih tersisa di wajahnya. "Kakak emang enggak berguna buat kamu."

"Kak Ran, bukan gitu." Avraam tidak berniat untuk membuat kakaknya tersinggung. Dia hanya ingin Rania mengerti keadaan mereka. Yunita bukanlah lawan yang bisa mereka kalahkan.

"Terus maksud kamu apa? Kenapa kamu mau ninggalin Kakak?" Rania mengusap kedua matanya lagi dengan punggung tangannya.

"Kak, aku juga enggak mau pergi." Avraam meraih lengan kakaknya, lalu menggenggamnya. "Tapi, kalau enggak pergi sekarang, dia bakalan terus nyari cara lagi supaya aku nurut."

"Kita juga punya cara buat lawan dia, Aram."

Laki-laki itu menggeleng. "Karena berita kemarin, kerjaan Kak Ran berantakan, kan?" Rania tidak menjawab. "Aku udah nanya, Kak Vi, dia bilang beberapa kontrak dibatalin, kan? Itu baru satu hari, Kak. Gimana kalau masalah ini dibiarin, aku enggak mau karier Kakak hancur gara-gara aku."

Avraam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang