#2

1.3K 105 6
                                    

Satu sisi kamar yang aku tempati sangat berantakan dengan barang yang berhamburan di mana-mana. Kamar luas ini aku tempati bersama Jehan dan satu sepupuku lagi. Kasur dan sekitarnya yang ditempati Jehan berserakan baju-baju dan segala hal tidak penting.

Aku mencari smartphone hitamku di dalam saku jaket yang aku sampirkan di kursi samping tempat tidur. Sebenarnya warna benda ini putih, tapi iseng menutup casenya dengan washi tape hitam bermotif daun.

Panggilan cepatku di nomor 2 adalah sahabat sehidup sematiku, Islean Fachruty Ruby. Pemuda jurusan Arsitektur itu adalah tetanggaku, kakak kelasku, guru privatku, babysitterku, pengawalku, supirku, hidup dan matiku.

Dulu, saat pertama kali dia pindah ke seberang rumah, kucing peliharaannya suka kabur dan bersembunyi di rumahku. Karena kucingnya sering ada di rumahku, akhirnya dia sering datang untuk mengambil kucingnya atau sekedar bertanya apakah kucingnya nakal atau tidak.

Dulu, saat pertama kali dia pindah ke seberang rumah, dia adalah anak laki-laki nakal dan jahil sedangkan aku anak perempuan yang 'pendendam'. Alhasil, kami sering bertengkar dan tidak ada yang bisa mengalah ala anak kecil di depan rumah.

Tapi sekarang, kami bahkan tidak bisa saling melepaskan.

Bunyi sambungan ke empat, Ruby baru menjawab panggilan telponku. Setidaknya, di sini masih bisa menelpon.

"By?"

'Gua nunggu telepon dari lu berhari-hari.' Helaan napas lega terdengar dari seberang sana.

"Lupa kalau punya HP."

Ruby mendenguskan tawanya sebelum bertanya, 'Gimana di sana?'

"Tidak ada yang berubah semenjak-?" Aku berpikir sebentar, "Enam tahun lalu?"

'Yaa, apa juga yang mau diubah.'

"Ya. Rumah besar, tiang-tiang besar, kamar mandi dan dapur terpisah, banyak kamar dan ruangan, tidak ada plafon, tidak ada sinyal, tidak ada-"

'AKU.' Ruby berteriak sambil tertawa.

"Apa?"

'Dan gak ada gua di sana.'

"Gila!"

Ruby kembali mendenguskan tawanya. 'Apa sih yang nggak lu suka di sana?'

"Terlalu?" Aku melihat sekelilingku hingga keluar kamar melalui pintu yang terbuka, "Tempat ini hanya terlalu kuno, antik, dan bersejarah."

'Seperti pak Juhri.'

Aku tertawa saat Ruby menyebut nama guru Sejarah SMA kami. "By, sinyalnya putus-putus." Aku merasa aneh saat suara Ruby mulai terdengar tidak jelas.

'Ya sudah, besok lagi.'

.

Pukul 9 malam, Jehan masuk di susul Ghea. Aku tidak tahu mereka melakukan apa di luar sana karena aku tidak lagi keluar kamar sejak makan malam selesai. Ghea langsung naik ke kasur di hadapan kasurku sedangkan Jehan dengan santai menjatuhkan semua barang di atas kasurnya ke lantai.

"Kalian habis apa?"

"Main kembang api." Anak SMA di kasur seberang lebih terdengar mengigau dari pada berbicara.

Aku menyusul Ghea untuk bersiap tidur. Kasurku bersebelahan dengan Jehan dan kasur Ghea bersebrangan dengan kasurku. Jehan malah membuka novel dan bersandar pada bantal.

"Udah, Je."

Ia mendengus kesal sebelum meraih remot lampu, "Iya, iya."

Hanya tersisa cahaya lampu dari luar kamar, lorong di depan kamar dan dari balkon luar. Samar-samar aku masih bisa melihat Ghea menendang selimutnya jatuh ke lantai dan mendengar suara TV dari luar.

Detik berikutnya, semua hilang begitu saja.

.

Aku terjatuh.

Tubuhku tersentak kaget karena jatuh dalam mimpi. Satu hembusan napas kasar aku keluarkan. Aku bangun dan duduk di kasurku. Dari lilin aroma yang entah kapan Ghea nyalakan, aku dapat lihat dia tertidur merikuk kedingingan tanpa selimut. Dari luar, masih ada suara TV yang aku yakin menyiarkan pertandingan sepak bola.

"Ck." Tempat minum milikku kosong. Aku memutuskan untuk pergi ke dapur. Sambil jalan menuju pintu keluar, aku mengambil selimut Ghea dan menyelimutinya.

Lampu ruang keluarga masih menyala ditambah suara TV. Papih, Dimas, kakek, dan 2 pamanku masih terjaga menonton pertandingan sepak bola. TV besar itu menyala terang benderang tanpa minat dari penonton untuk menurunkan kecerahannya, menjadi satu-satunya cahaya terang benderang di seluruh rumah.

"Ada apa, sayang?" Papih mengulurkan tangan agar aku mendekatinya.

Aku tersenyum tipis, "Mau ambil minum."

"Ayo."

Papih bangun dari sofa dan membimbingku menuju dapur. Tangan besar dan hangat miliknya terasa berada di punggungku. Papih membuka pintu keluar menuju dapur. Standar pada rumah kampung-kampung yang dapur dan kamar mandinya terpisah dari rumah utama.

Walau sudah berupa dapur dan kamar mandi modern biasa, tapi tetap saja terasa sangat jauh dari kamarku. Apa lagi harus melewati lorong kamar orang-orang lanjut usia itu. Di sana banyak lukisan dan foto-foto kuno.

"Li?"

"Hm?" Aku rasa aku mungkin tidak sadar jika sudah berada di dapur sekarang.

"Melek, sayang! Jangan sambil tidur, nak."

Bahkan Papih tahu jika aku tertidur.

Setelah mengisi botol minumku hingga penuh, aku dan Papih kembali ke rumah. Di tengah antara rumah dan dapur ada halaman terbuka. Pernah lihat teras atau sejenis taman dalam rumah di sinetron-sinetron India yang ada di TV? Kurang lebih seperti itu.

Dari dapur, di sisi kanan jembatan yang menguhubungkan rumah utama dengan dapur dan kamar mandi terdapat kolam ikan lengkap dengan air terjun buatan. Di sisi kiri ada tumbuhan berbunga beberapa tumbuhan merambat dan sebuah kursi taman bundar.

Aku hampir tersandung dan terjatuh jika papih tidak menahanku. Ia mengguncang-guncang tubuhku agar aku sadar.

"Bangun dulu, nak!"

Saat kembali masuk rumah, cahaya yang dapat aku lihat hanya cahaya dari ruang keluarga. Ini lorong kamar para orang lanjut usia yang aku katakan.

Satu lukisan menarik perhatianku. Itu hanya lukisan hitam putih yang terlihat sangat tua berbingkai cokelat kayu, sederhana dengan seorang gadis yang mengenakan kebaya kuno duduk di sebuah batu besar. Gunung di belakangnya bahkan terlihat tunduk dengan keanggunan gadis itu.

"Alia?"

Meski mataku terbuka, aku tahu sebagian jiwaku masih ada di atas kasur. Lorong ini gelap dan aku mengantuk jadi pandanganku memudar.

"Itu Lia?" Aku mengangkat tanganku menunjuk lukisan itu.

Papih berdiri tepat di belakangku menghadap lukisan yang aku tunjuk. "Itu buyutnya kakek."

"Oh."

"Mirip Lia?" Papih memelukku dan menggoyang-goyangkan tubuhku.

"Tidak."

Papih mendenguskan tawanya dan kembali membawaku berjalan. Aku berbelok ke ruang keluarga dan menuju sofa paling jauh dari TV lalu merebahkan diri. Papih menarik botol minum yang aku peluk dan meletakkannya di meja samping sofa lalu kembali menonton bola bersama yang lain.

Aku sudah tertidur. Aku sadar aku sudah tidur, tapi aku masih dapat merasakan Papih mengoles lotion anti nyamuk ke kaki, tangan dan telingaku. Aku masih dapat mendengar suara nyamuk mendekati telingaku, suara iklan disela pertandingan, suara komentator bola, suara paman yang menggeram kesal, dan suara kakek yang ngedumel marah. Aku masih bisa mendengar semuanya.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang