#21

343 38 12
                                    

Rasa yang tadi begitu menyesakkan dadaku sudah lenyap hilang tak bersisa saat sampai kamar. Pelayan Danastri sudah membakar wewangian dan menyiapkan bak mandi. Aura mereka terasa begitu bahagia untuk perayaan menyambut tamu nanti malam.

Aku butuh tenaga lebih untuk nanti malam setelah menghabiskan banyak energi untuk menahan tangis. Menghabiskan banyak energi meyakinkan diriku untuk tinggal. Semua pelayan Danastri keluar dari kamar ketika aku meminta waktu untuk sendiri dan berendam dalam bak mandi.

Cindhe sudah ada di kamarku ketika aku selesai mandi. Ia membantuku memakaikan baju yang ibu pilihkan untukku. Kebaya dengan kain batik yang berkilauan. Terlihat begitu menawan hingga aku tidak berani menolaknya.

"Tadi saya lihat Ndoro Dewani sudah selesai berpakaian. Pasti sebentar lagi kemari." Kata Cindhe sambil menyisir rambutku.

Aku tersenyum mendengar suara teriakan Dewani. Gadis itu masuk dengan pakaian indah dan hiasan rambutanya yang begitu cantik. Batara menyusul Dewani dengan teriakkannya juga.

"Kau tidak bisa berlari seperti tadi."

"Saya ingin di sini." Jawab Dewani sambil mendekatiku.

"Iya saya tahu, tapi-"

Aku memotong kalimat Batara, "Tidak apa Batara. Ada hal lain yang harus kamu urus?"

Batara mengangguk pelan.

"Baik. Kembali ke tempatmu."

Batara mengangguk sekali lagi sebelum pergi keluar kamar.

Dewani duduk di tepi kasurku sambil memangku Sunah. Gadis itu berbicara tentang harinya dan bagaimana tidak sabarnya ia menunggu nanti malam. Malam yang pasti begitu meriah dengan Gambyong dan Kuda Lumpingnya. Dewani juga bilang akan ada pertunjukan wayang dan musik.

Ya? As I wish that it could be Ed Sheeran.

Aku menghentikan tangan Cindhe ketika akan mengambil konde. "Bagaimana jika aku tidak ingin menggunakan itu?"

"Tidak apa Ndoro Ayu." Cindhe tersenyum lalu mulai mengepang rambutku dan menggulungnya. Cindhe juga menusuk tusukan konde pada gulungan rambutku. Tusukan konde berwarna cokelat kemerahan, ujungnya menggantung hiasan bunga berwarna emas.

Cermin di hadapanku menampilkan seseorang yang begitu asing bagiku. Bukan diriku dan juga bukan Danastri. Aku tidak pernah berpenampilan seperti ini dan aku tidak pernah mendandani Danastri begini.

"Mbak Astri cantik sekali."

Aku menoleh pada Dewani dan tersenyum, "Kamu juga menakjubkan."

Semua pelayan menunduk ketika Astaka masuk ke dalam kamarku. Aku membuang wajah ketika Astaka memandangku terlalu lama.

"Kang Mas kenapa masih berpakaian seperti itu?" Tanya Dewani.

"Iya, sebentar lagi saya ganti baju."

"Mbak Astri cantik, ya?"

Astaka diam dan kembali memandangku. "Ya. Dia cantik."

.

Malam dimulai. Suara-suara gamelan mulai terdengar dari lapangan. Dewani mulai menggandeng tanganku untuk berjalan ke luar. Pengawal bilang para tamu itu baru sampai Rumah Perintah dan langsung berjalan ke sini. Rumah yang tadi sore aku kunjungi menjadi tempat tinggal mereka selama di sini.

Jauh dari depan gerbang sana beberapa kereta kuda mulai jalan mendekat. Musik semakin meriah ketika mereka memasuki gerbang.

Tiga kereta kuda membawa masing-masing empat orang kulit putih, seorang kusir, dan seorang pengawal. Paduka Karkasa, Astaka, dan Lawana berdiri paling depan untuk menyambut mereka.

The Past Keeper : Maliaza AmbaraningdyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang